---Jonatan---
Air mata gua sepertinya tidak bisa gua tahan saat gua melihat jasad itu terbaring di salah satu peti di ruangan ini. Setelah gua perhatikan lagi, peti itu sebenarnya adalah kulkas, jadi saat dibuka, jasad Haruna dikelilingi oleh es batu. Badan Haruna sepertinya belum menunjukkan tanda-tanda pembusukkan, sepertinya karena penggunaan pengawet dan juga suhu dingin.
Gua tidak menyangka bisa melihat lagi secara langsung perempuan yang pernah mengisi hari-hari gua dulu. Tapi, sekarang sosok itu sudah terbaring kaku di peti itu. “Kenapa di saat kita bisa bertemu lagi, gua dan lo harus sudah terpisahkan oleh maut seperti ini?”
Tapi, seberapa keras gua berusaha mengajak anak itu berbicara, hanya kesunyian yang dapat menjawab kata-kata gua itu. Haruna sudah tidak ada lagi di dunia. Hanya tinggal jasad-nya sajalah yang masih membuktikan bahwa Haruna pernah hadir di dunia. Selain itu, tidak ada lagi yang dapat membuat Haruna kembali tertawa seperti dahulu.
“Tunggu gua menyelesaikan semua ini ya, Haruna. Sebentar lagi semuanya akan terbongkar, semoga kamu bisa ikut mendengarkan dari sana ya.”
Benar. Sebentar lagi, apa yang ada di kuil ini akan terbongkar. Sekarang, tinggal saat yang paling penting. Mencari artefak yang sedang dicari oleh Haruna. Setelah itu, semuanya selesai.
Gua kemudian bergegas menuju ruang utama kuil. Saatnya membongkar meja itu agar gua bisa mengetahui seberapa banyak artefak yang mereka sembunyikan. Sayangnya, gua tidak menemukan alat yang bisa membantu gua untuk menggalinya. Selain itu, tangan gua juga masih terluka, jadi sepertinya gua tidak bisa menggalinya dengan baik.
“Ah!” seru gua sedikit kesal. Padahal kesempatan itu sudah di depan mata, tapi gua malah tidak bisa melakukannya. Jadi, dengan rasa kecewa, gua kembali ke tempat di mana anak-anak berada. Sepertinya gua perlu minta tolong kepada mereka juga, walaupun gua juga tidak yakin mereka bisa membantu juga sih karena luka yang mereka derita itu.
Gua sedikit terkejut saat tiba di ruangan itu. Revandra dan Leo terlihat sedikit panik. Revandra kemudian langsung menghampiri gua. “Ibunya ngamuk lagi!”
Revandra langsung memberi laporan ketika gua tiba di ruangan itu. Leo bercerita bahwa saat si ibu tersadar, dia mulai mengamuk karena tidak terima diikat oleh kami. Dia berusaha untuk melepaskan diri sambil berteriak. Leo dan Revandra jadi sedikit takut jika ikatan itu lepas, perempuan ini bisa kembali mengamuk dan malah membabi-buta menyerang kami. Selain itu, mereka juga tidak berani untuk berpencar karena takut perempuan itu bisa saja sewaktu-waktu muncul di depan wajah kami sambil menodongkan pisaunya. Jadinya, mereka berdua hanya bisa menunggu gua di depan pintu ruangan sambil berharap-harap cemas.
Gua tahu bahwa mereka khawatir. Jadi, gua kemudian membekali mereka dengan pisau-pisau yang tadi sempat gua pungut ketika Revandra berhasil melumpuhkan perempuan itu. Kebetulan jumlahnya ada tiga, jadi masing-masing dari kami bisa memegang satu senjata. Setelah kami semua merasa siap untuk masuk, kami lalu datang menghampiri perempuan itu.
Untung saja perempuan itu masih terikat dan belum bisa melepaskan diri. Gua sudah mengamati dengan yakin, jadi gua bisa sedikit tenang. Setidaknya, tidak akan ada adegan di mana perempuan itu sebenarnya sudah lepas dari ikatan, namun berpura-pura masih terikat, lalu tiba-tiba ia menyerang kami di saat kami sedang lengah.
“Kenapa anda melakukan ini?”
Gua kemudian sedikit menghardik perempuan itu. Saatnya menggali informasi yang lebih detail. Tapi, gertakan gua sepertinnya kurang begitu kuat. Perempuan itu masih tidak mau menjawab. Menyebalkan sekali. Apa yang harus gua lakukan sekarang agar perempuan ini mau berucap? “Kalau begitu, kami akan ambil semua artefaknya dan melaporkan kepada pihak yang berwenang bahwa anda adalah pelaku pembunuhan.”