Don't Judge A Book By It's Cover

Cloverbean
Chapter #3

CHAPTER 2 - Is It True?

Aku membuka pintu rumah. Aku memang selalu membawa kunci cadangan tiap hari. Berjaga – jaga jika penghuni di rumah pergi ke suatu tempat. Aku sudah disambut oleh mamaku untuk segera mengganti pakaian rumah dan makan. Aku segera berberes isi tasku, memasukkan jas lab ku ke mesin cuci agar digunakan kembali lusa.

“Oh iya. Ini punyanya Dimas.” Aku memegang jas lab milik Dimas yang sudah menyelamatkanku. Kupikir tidak masalah jika mencucikan miliknya. Aku hanya memasukkannya ke dalam mesin cuci bersama baju kotorku lain. Aku segera mandi dan minum susu untuk menetralkan tubuh karena selama 2 jam penuh bersinggungan dengan zat kimia.

Pulang berharap bisa tidur pulas tetapi ternyata tidak. PR masih menumpuk. Aku mulai menata, mana yang harus dikerjakan untuk besok. Aku mengambil bolpoin yang kubeli tadi, meletakkannya bersama alat tulis lain. Ponsel yang sudah aku ­full charge, kuletakkan tepat di sebelah buku tulis. Aku menancapkan earphone, dan mulai memutar playlist-ku. Aku sudah siap untuk fokus mengerjakan PR.

Ting!

Belum lima menit aku mencatat jawaban, sudah ada pengganggu dari ponselku. Aku membuka notif itu dan ternyata dari Nadia. Dia menanyaiku jam berapa aku datang ke kelas. Tanpa aku menanyakan alasannya, aku sudah tau jawabannya. Sikap dia yang santai itu, sudah pasti ingin mencontek jawaban PR fisikaku. Tidak bermaksud sombong, tetapi aku tiga besar di kelas. Ha ha ha.

Aku menjawab pesannya secara singkat dan segera melanjutkan kegiatanku agar fokusku tidak hilang. Mengenai mencontek dan dicontek, sebenarnya aku tidak peduli. Menurutku mereka yang mencotekku akan kesusahan sendiri saat ujian besok karena tidak tahu bagaimana cara mengerjakannya, rumus apa yang perlu dipakai dari rumus-rumus yang begitu banyak untuk dihafalkan.

Aku menutup buku catatan dan buku cetak yang penuh soal itu. Aku merenggangkan kedua tanganku ke atas, me-stretching pundakku menepuk ringan punggungku yang pegal karena terlalu banyak membungkuk. Kepalaku kuhadapkan ke langit – langit. “Uhh.. capeknya..,” badanku penuh pegal ini akhirnya bisa beristirahat di kasur yang empuk.

~

Esok hari seperti biasa aku datang lebih awal dari teman – teman lain. Jika hari – hari biasa, aku pasti orang pertama yang masuk kelas. Tetapi berbeda dengan hari ini, karena Nadia sudah menungguku di bangku kelas.

“Nih PR-nya.” Aku mengeluarkan bukuku dan langsung memberikannya ke Nadia.

“Wahh kamu memang teman paling pengertian.” ledek Nadia.

“Besok ulangan, kerjain sendiri yaa.” ledekku gantian.

Aku pergi meninggalkan Nadia yang sibuk mengerjakan PR di pagi hari. Biasanya teman – teman yang lupa mengerjakan PR akan segera pergi ke tempatku. Itulah mengapa lebih baik aku pergi dari kerumunan itu. Aku menyenderkan badanku ke balkon, daguku kutopang dengan sebelah tanganku. Dari lantai 4 aku bisa melihat orang – orang yang berlarian masuk ke kelas. Aku yang sedikit melamun dibuyarkan oleh suara Lily,

“Eh eh itu liat, Jess!” Dia menunjukkan seseorang di ujung sana. “Cakep kan?” Aku tidak tahu siapa yang dia tunjuk. Apalagi jarak nya yang sangat jauh dari penglihatan mataku.

“Yang mana sih, Li?” Aku berpura – pura menanggapi pembicaraannya.

“Ahh... dia sudah masuk kelas.” aku bisa melihat Lily sedikit kecewa, dia ingin menatap cowok itu lebih lama. “Coba aku masuk SMA ya Jess.” perkataan yang dilontarkan oleh Lily sudah ke-365 kalinya sejak kami masuk ke SMK. Ini yang ke-366. Aku sudah tahu arah pembicaraan ini ke mana. Lily bosan dengan teman cowok sekelasnya yang itu – itu saja. Memang benar bahwa seangkatan kami lebih banyak siswa perempuannya. Murid laki – laki mungkin sekitar.. sepuluh? Yang jelas bisa dihitung dengan jari, tanpa jari kaki. Sekolah kami yang kejuruan farmasi lebih banyak diminati oleh kaum hawa, sebenarnya mau laki – laki atau perempuan aku tidak peduli, karena yang aku cari adalah ilmunya.

“Bosen, Jess.. Cowok yang cakepan dikit di sini udah ada yang punya. Mending cari anak – anak yang ada di SMA.” sekalinya dia membicarakan anak SMA, dia sangat kegirangan.

“Memangnya anak SMA pada jomblo apa?”

“Hahhh.. iya sih apalagi cewek – ceweknya juga pada cantik – cantik semua.” jawab Lily menggerutu, “tapi masak sekalipun kamu gak pernah suka sama seseorang Jes?” lanjut Lily

“Hmm.. enggak.” jawabku berbohong.

“Hahhh.. kamu terlalu rajin, Jess.” Lily kembali menatap dengan tatapan kosong ke lantai dasar.

Suka seseorang? Tentu saja pernah. Toh umur – umur kami sedang mengalami masa pubertas. Sebenarnya perasaanku ini tidak kubicarakan ke siapapun termasuk teman dekat dan keluargaku sendiri. Aku menyimpan perasaan ini sendiri. Aku tidak ingin berharap lebih. Jika aku mengungkapkannya ke orang lain. Pasti orang lain membicarakan ini dan jika sampai terdengar oleh doi. Mukaku mau kutaruh di mana.

Drap drap drap

Suara gemuruh terdengar di telinga kiriku. Ada orang yang buru – buru menghampiri ke arahku. Apakah waktunya sudah masuk kelas?

“Jessicaaa” suara tak asing memanggilku. Aku menoleh ke kiri. Aku melihat orang itu berlari terburu – buru sambil meneriakan namaku. Aku malu mendengarkan. Dalam artian bagus tetapi. “Hah.. hah.. hah..” dia kehabisan napas setelah berlari dari lantai satu ke lantai empat. Aku bisa memakluminya. “A-a.. ku.. ma.. hah.. capekkk!” Aku sedikit tertawa melihat tingkahnya. Dia benar – benar seperti orang polos takut terlambat masuk kelas sehingga terpaksa dia lari sekuat tenaga. Padahal olahraga saja jarang. Tas yang penuh bawaan pun memberi beban padanya selama belari.

Lihat selengkapnya