Sret sret
Seperti biasa, aku menulis kembali catatan yang kutulis di sekolah. Para guru yang menjelaskan terlalu cepat membuat otakku bekerja multitasking. Mataku terfokus ke papan tulis sedangkan tanganku fokus untuk mencatat. Melihat hasilnya, aku merasa kasian pada yang baca tulisanku. Mereka pasti mengumpat dalam hati. Iya termasuk diriku.
Menulis kembali catatan juga membantuku mengingat kembali pelajaran. Mungkin inilah cara kerja otakku. Orang lain memahami pelajaran dengan menghafal, ada yang mencatat ulang, dan ada juga tipe genius di mana mereka selama tidur, mata pelajaran terserap begitu saja di alam bawah sadarnya. Sebenarnya itu alasan yang kubuat, tentu saja alasannya karena ingin merapikan catatan dan menghiasnya agar kelihatan lebih girly.
Ting!
Jam diponsel menunjukkan waktu 12 tepat tengah malam. Aku keheranan, siapa yang chat pada malam seperti ini. Aku membuka kunci ponselku dan ternyata itu sebuah reminder. Hari ini adalah ulang tahun Nadia. Aku melupakan hari penting ini. Tentu saja aku tidak menyiapkan satu kado-pun. Aku mencoba menghubungi Lily, menanyakan apakah dia ingat akan ulang tahun Nadia. Kami chit – chat hingga pagi untuk merencanakan kejutan untuk Nadia. Jika sesuai rencana, sebelum pulang sekolah kami ingin memberikan Nadia sebuah kue tart. Tetapi masalahnya adalah.. tidak ada toko roti yang buka pagi hari pukul 6. Jam paling awal toko roti buka adalah pukul 9. Pastinya saat itu kami tidak bisa kabur dari sekolah.
“Sudahh.. rotinya serahkan aja sama aku. Kamu pikirin aja kadonya.” Lily sepertinya punya rencana lain.
“Emangnya, kamu mau kasi kado apa?”
“Dompet? Ahh aku ada jam tangan udah gak kupakai sih.”
“Ya.. masak bekas, Li?” aku menyerah berdiskusi dengannya.
Aku mencoba untuk me-scroll pencarian. Memasukan kata kunci “hadiah untuk sahabat," tetapi aku teralihkan dan menghabiskan waktuku untuk me-scroll hingga akhir pencarian. 'Kenapa lucu semua, aku juga mau itu jadi milikku.' batinku.
~
Sampai di kelas, aku dan Lily sudah bersepakat untuk pura – pura tidak ingat bahwa hari ini ulang tahun Nadia. Aku yang duduk sendirian menunggu teman – teman datang, mulai merasa ngantuk. Aku mencoba menahan agar mataku tidak terpejam, tetapi rasa kantuk ini lebih berat.
Suara gaduh mulai meramaikan telinga, aku membuka mataku dan melihat sekeliling. Aku menggosok mataku dan memajamkan penglihatankanku. Anehnya kelas ini masih sepi. Geng perempuan yang dengan sopannya duduk di atas meja sambil tertawa kerasnya membuatku terbangun.
“Jo, temen – temen pada ke mana? Kok sepi?” tanyaku pada salah satu geng perempuan itu
“Eh Jess, udah bangun? Pada ke kantin kayaknya. Ini kan jam bebas.”
Hah! Jam bebas lagi? Seharusnya aku bisa menggunakan kesempatan ini untuk beli kado. Jam bebas adalah hal biasa di tempat kami karena para guru sibuk mempersiapkan pengaturan waktu antara ujian praktik, ujian sekolah, dan ujian negara semester depan. Aku segera mengecek ponselku, untuk melihat tinggal berapa menit lagi istirahat akan berakhir. 45 menit! Aku berpikir asal bahwa itu waktu yang lumayan cukup untuk pergi membeli kado. Aku belum bisa menentukan kado untuk Nadia, tetapi aku harap apapun kadonya dia akan menerimanya.
Gerbang depan sekolah tentu saja masih terkunci rapat. Apalagi jam ini harusnya masih jam pelajaran. Aku memutar otakku dan lari menuju gedung belakang dekat dengan kantin. Benar adanya, teman – temanku berada di sana. Aku juga sekilas melihat Nadia. Aku tidak boleh ketahuan, jika dia tahu aku diam – diam bolos, dia pasti akan menanyakan beribu pertanyaan. Hancur sudah rencana kejutanku dengan Lily. Aku yang berada di tengah jalan menuju lokasi, mengangkat kakiku dan berjalan mundur. Aku membalikkan badanku, berjalan cepat berbelok dan saat itu aku hampir menabrak seseorang.
Untung saja aku cepat tanggap dan berhenti tepat waktu di depan orang itu. Orang tersebut melihat ke arahku. Seragam anak SMA! Sepertinya dia sehabis dari toilet. Wajahnya sesuai sekali dengan tipe ideal Lily. Andaikan, kejadian ini terjadi pada Lily, dia pasti berdiri mematung. Aku segera membungkukkan kepalaku dan meminta maaf karena menabraknya. Segera aku memutar balik dan pergi ke arah laboratorium. Aku ingat ada pintu yang menembus langsung ke apotek yang sekaligus milik sekolahku. Aku tahu tempat ini, karena aku pernah menjaga di apotek, melayani bagian kasir.
Aku bertemu dengan adik kelas yang ternyata sedang bertugas menjaga. Aku memberikan isyarat untuk tidak membongkar rahasia bahwa aku membolos kelas. Rintangan mencari jalan tikus sudah terlewati. Aku keluar dari apotek dan pergi menuju parkiran motor. Lurus dari tempat ini akan menuju gerbang belakang yang tidak pernah berfungsi lagi karena sudah berkarat. Namun, yang menjadi masalah lain adalah pintu gerbang yang terlalu tinggi, tidak mungkin juga seseorang melompatinya.
Saat aku berpikir untuk mencari jalan keluar lain, kedua lenganku ditangkap oleh seseorang. 'Oh tidak.. apakah aku sudah ketauan?' batinku.
“Ngapain, Jess?”
Aku membalikkan badanku, suara tak asing yang kudengar ini membuatku lega. Ternyata Dimas.
“Jangan bilang, anak pintar mau bolos?” aku tidak menjawab apa – apa. “Benar – benar yaa setelah berteman sama Nadia, jadi ketularan nakalnya hahaha.” dia melanjutkan bicaranya.
“Emangnya Nadia nakal orangnya?” dia membuatku penasaran.
“Lah kupikir kamu temennya.., jadi sudah pasti tau lah. Rumornya juga tersebar luas. Kalo dia berteman sama banyak cowok. Kelakuan dia juga kayak cowok.”
Benar. Selama ini aku selalu berteman dengan anak yang baik – baik. Orang yang suka main seenaknya terasa asing bagiku. Berteman dengan orang tomboy galak bukan merupakan kebiasaanku. Akupun juga tidak ingin dekat dengan geng seperti mereka. Mamaku selalu memperingatiku untuk tidak terjerumus di lingkungan yang buruk. Apakah aku tidak sadar sudah terpengaruh oleh pergaulan ini.
“Oi! Malah melamun ini anak.” wajah Dimas yang mendekat ke arahku membuatku tersentak. Aku mendorong mukanya ke belakang.
“Hah! Kaget!” reflek tanganku membuat dia mengelus wajahnya sendiri pelan.
“Jadi bolos gak ini?” dia menggaruk pipinya yang tidak gatal itu.
Aku melihat ponselku lagi, waktu menunjukkan kurang 30 menit lagi hingga bel pelajaran masuk. Aku berpikir bahwa ini tidak akan sempat. Apalagi aku belum bisa keluar. Perjalanan ke toko buku pun agak jauh. Toh aku bisa membelikan dia hadiah di lain waktu. Aku merasakan akal sehatku kembali.
“Aku sebenernya tau jalan keluar dari sini sih.” Dimas tidak menyerah. “Kan kamu tau sendiri aku ahli dalam membolos hahaha.”
“Cih. Gitu aja dibanggain.” ledekku. Aku pergi meninggalkan Dimas, daripada aku terlalu lama berbicara tidak penting padanya, lebih baik aku kembali ke kelas dan melanjutkan tidur.
“Motorku, kuparkir di luar kok.” Dimas tidak menyerah membujukku. Tawaran ini membuatku menoleh ke arahnya. Benar sekali. Jika dengan kendaraan, aku bisa lebih cepat sampai ke tempat tujuan dan waktu untuk kembali pasti bisa lebih singkat. Dia mengeluarkan kunci motor dari sakunya dan mulai mempermainkan kunci itu dengan memutarnya
Cring, cring