Dulunya kami dekat tanpa celah. Aku berusaha mencegah sebuah celah itu muncul. Celah setipis apapun akan berubah menjadi sebuah jarak yang asing untuk direkatkan kembali. Seperti keadaanku sekarang ini, entah bagaimana ini bisa terjadi, tetapi jarak antara diriku dengan Nadia semakin melebar. Keinginanku untuk mendekat kembali sudah hilang. Perasaan bahagia ketika Nadia menyambutku sudah menjadi duri tumbuh di jantungku. Entah mengapa, jarak ini membuatku lebih lega.
“Hoi Jess, gimana UAS-nya?” Nadia menyapaku basa basi.
“Yah.. begitulah..” jawabku bermalas – malasan.
Aku tidak tahu harus membalas apa. Entah mengapa di otakku hanya itu yang bisa kuucapkan. Mulutku terlalu malas untuk membuka. Mataku lebih nyaman menatap hasil tryout dibandingkan menengadah menatap Nadia. Kepalaku yang berat kutopang dengan tangan kiriku.
Aku berpikir bahwa mood-ku sekarang ini sedang jelek. Tanpa sebab.
Entah mengapa pembicaraan kami tidak se-intens dahulu. Kami yang sekarang lebih banyak membicarakan hal basa – basi. Aku juga tidak ingin mengulik hal privasi Nadia yang mungkin sulit untuk diceritakan. tetapi, disatu sisi aku merasa terhianati dia tidak ingin terbuka. bukankah kita teman?
Seperti biasa, aku bersama Lily ditinggal berdua oleh Nadia yang sudah pulang duluan. Dia pulang bersama motor lamanya yang berisik akan suara knalpotnya itu. Dia beralasan bahwa motor barunya telah dijual tanpa menjelaskan maksud dibalik itu.
“Nadia akhir – akhir ini kenapa ya?” Lily sepertinya merasakan aneh yang sama denganku.
“Entah.. daripada ngomongin itu, liburan enaknya ngapain ya?”
“Gimana kalo main di mana gitu. Coba ajak Nadia yang sering keluyuran.” memang benar Nadia lebih berpengalaman berpetualang. Dia bersama teman ekstrover lainnya pergi ke puncak bahkan ke luar kota bukan masalah bagi mereka. Tetapi jika mengajaknya sekarang apakah aku akan merasakan enjoying the life seperti yang seharusnya?
“Yaa kalau dia mau main sama kita sih..”
Lily tersentak mendengarkan ungkapan jujurku yang keluar begitu saja. Dia langsung memasukkan kembali ponselnya, “Iya kayaknya dia udah punya temen yang lebih nyaman daripada kita.” aku melihat Lily juga sependapat denganku.
Ternyata tidak hanya aku yang berpikiran seperti itu.
Lily melanjutkan, “mungkin Nadia lagi lelah kali, dia sibuk kerja. Mungkin temen – temennya itu temen kerja dia. Sebagai junior, dia sungkan nolak ajakan.” Lily cepat sekali berubah pikiran. Dia mencoba berpikir positif. Dia masih mencoba membela Nadia. Beribu - ribu kemungkinan yang terjadi dia sebutkan.
Aku ingin sekali seperti Lily yang percaya Nadia masih menganggap kami teman, tetapi otakku menyanggah itu semua. Apa yang kulihat dan apa yang Nadia ucapkan selalu bertolak belakang. Aku menceritakan semua ke Lily tentang keraguan yang kurasakan termasuk aku sudah mencapai batas sebagai teman yang “dimanfaatkan”. Aku terbiasa menceritakan masalah yang kurasakan pada teman-teman yang kuanggap bisa dipercaya, termasuk pada Lily dan Nadia. tetapi, sepertinya Nadia tidak berpikiran demikian.
Lily yang selama ini berada di kelas sebelah mungkin tidak menyadarinya. Dia menepuk pundakku lembut, “Yang sabar yaa, Jess. Kalo gitu kita ajak ketemuan Nadia buat bicara baik – baik gimana?”