Aku menarik tanganku dari cengkraman Nadia. Wajah Nadia terlihat terkejut seakan dia tertangkap basah, aku sedikit bangga dengan diriku sendiri karena berani mengungkapkan kebenaran dan berhasil membuat Nadia tidak sanggup menjawab. Nadia masih terdiam setelah beberapa detik dan aku mulai melangkah lagi untuk pulang.
“Aku lakuin apa?” suara samar yang kudengar dengan jelas keluar dari mulut Nadia. Saat ini kami berada di lorong yang menghubungkan gedung kami dengan tempat parkir bagian belakang. Lorong itu sangat sepi sehingga tentu saja aku bisa mendengar dengan jelas pertanyaan Nadia. Sungguh tidak tahu diri, batinku. Aku berbalik, menatap Nadia dan mengendikkan bahu.
“Jangan sok gak tau. Aku paham kok selama ini kamu temenan sama aku biar aku bantu nilai-nilaimu aja kan.” aku melontarkan pernyataan yang selama ini aku percayai di depan muka Nadia secara langsung. Ada perasaan lega bercampur ragu yang terasa mengalir di tubuhku.
Nadia terdiam sebentar sebelum menjawab dengan raut wajah datar yang tidak berubah, “oh jadi karena itu. Kamu harusnya bilang, Jess. Aku juga enggak pernah maksa kamu kan.”
Aku terkejut mendengar pernyataan Nadia. Bisa-bisanya dia masih mengelak dan membenarkan diri. Tidak ada kata maaf atau penyesalan sama sekali dalam kalimatnya, seakan semua itu adalah salahku yang tidak melolak permintaannya. Ada rasa amarah yang mulai naik ke seluruh darahku. Aku mengepalkan tanganku berusaha menahan amarah. Aku membalikkan badanku, hendak berjalan maju meninggalkan Nadia dan semua tipu daya manipulasinya. Aku tidak ingin terjerumus lebih jauh kedalamnya.
“Cuma karena itu, Jess? Lalu kamu mau apa? Aku bakal berhenti lihat tugasmu.” Nadia sedikit meninggikan suaranya kali ini. Beruntung lorong itu sangat amat sepi sehingga tidak menarik perhatian orang-orang sama sekali.
Aku berbalik lagi, kali ini aku akan menyudahi permainan Nadia untuk selamanya dan tidak lagi berada dalam pertemanan yang tidak sehat ini. “Bukan cuma itu, aku tau kamu bohong tentang banyak hal. Udah Nad, aku lelah ikutin permainanmu.” aku segera berlari meninggalkan Nadia sebelum dia bisa membuka suaranya. Berdebat dengan Nadia bukanlah cara yang benar untuk menyelesaikan masalah, dia akan mempunyai seribu macam alasan dan bujukan untuk membenarkan dirinya dan aku bukanlah expert untuk memenangkan perdebatan itu.
Aku berlari hingga sampai di tempat parkir motor belakang. Aku menuju tempat duduk yang berada di dekat pos satpam dan duduk di sana, tiba-tiba aku melihat Vincent datang dari arah gerbang masuk sambil membawa bungkusan. Sepertinya dia habis membeli sesuatu di warung sebelah sekolah. Kami berpapasan, dia tersenyum sembari melambaikan tangan dan berjalan menuju motornya hendak pulang. Aku memperhatikan bagaimana dia menggantungkan plastik makanan di motornya, mengenakan helmnya dan mengendarai motornya menuju ke arahku???
“Jess, mau pulang sama-sama?” ujar Vincent yang telah ada didepanku sebelum aku sadar sepenuhnya dari lamunanku.
“HAH???”
“Kok hah sih.”
Oh tidak aku terkejutnya enggak dalam hati, batinku menyesali perbuatanku sendiri.
“A-anu rumahku jauh kok.” jawabku terbata-bata.
“Ya ga papa sekali-kali.” Vincent mengulurkan helm padaku. Aku menerimanya dengan ragu dan menggenakannya lalu memposisikan diri duduk di motor.
“EH TAPI KAMU BELUM PUNYA SIM KAN?” tiba-tiba aku teringat akan hal itu. Namun, sebelum sempat menjawab Vincent sudah memacu motornya pergi.
Perjalanan ini terasa canggung, setidaknya untukku. Aku berusaha menyeimbangkan tubuhku untuk tidak jatuh tanpa berpegangan pada Vincent. Namun, setelah 5 menit bertahan rasanya hal itu tidaklah mungkin. Aku dengan hati-hati meraih pundak Vincent untuk berpegangan, jantungku berdegup kencang, aku tidak tahu apakah ini karena tanganku berada di pundak Vincent atau rasa takutku karena motor melaju dengan kecepatan yang lumayan tinggi. Banyak hal yang membuatku tidak fokus, waktu yang berjalan dengan sangat cepat hingga tanpa kusadari aku sudah sampai di depan rumahku.
“Sudah sampai.” ujar Vincent.
“Hah?”