“Luas permukaan tabung.. rumusnya, dua dikali phi dikali r dikali t..,” gumamku semenjak turun dari angkot yang mengantarku sampai sekolah. Selama perjalanan aku menghafalkan kembali rumus – rumus matematika yang sudah kupelajari malam harinya. Hari pertama ujian sekolah mata pelajaran matematika. Mata pelajaran yang membuatku selalu lapar padahal sudah sarapan tadi pagi. Mata pelajaran yang membuat perut terasa sakit diremas ketika mencoba menyelesaikan soal.
Aku berjalan menuju koridor pelan – pelan. Melangkah satu demi satu kakiku ke anak tangga. Berjalan di sisi kiri melekat tembok takut jikalau jatuh. Tanganku penuh dengan buku catatan dan selembar kertas seperti contekan yang sudah penuh dengan rumus matematika yang kurangkum. Mataku hanya fokus tertuju pada angka dan simbol matematika yang memusingkan.
“Jess!” seseorang menepukku dari belakang sehingga membuatku tersentak. Bahuku terangkat sedikit. Suara mencitku hampir keluar tetapi kutahan.
“Vincent?!” kepalaku yang penuh dengan untaian tali, terurai seketika.
“Kenapa kaget gitu? Kamu nyiapin contekan ya? Ahahah.” candanya dengan tertawa renyah miliknya.
“Ah enggak kok. Kamu manggil tiba – tiba sih.” aku menundukkan kepalaku. Mataku tidak sanggup menatap wajahnya yang sudah sejajar dengan wajahku karena dia berada di satu atau dua anak tangga di bawahku. Dia seperti menjelajahi sekitarku mencari hal aneh di wajahku dan tanganku.
“Eh.. apa itu di tanganmu?” dia menarik kertas rangkuman yang kupegang dari tadi. Aku yang tidak sadar akan hal itu membiarkan Vincent melihat semua tulisan itu. “Wah rapi juga ya kamu.”
“Ehhh serius itu cuma buat belajar kok.” pipiku merona merah seperti kepiting matang.
“Yaa yaa.. mana mau orang ketahuan mengaku~” dia meledekku sambil meneruskan langkahnya menuju kelas. Tangannya yang memegang kertas rangkumanku di arahkan ke belakang sebagai umpan yang membiarkan aku untuk mengambil kembali.
Aku menarik umpan itu, “hihh dibilang enggak!” jawabku sedikit kesal. Tetapi tentu saja perasaan senangku lebih banyak karena.. VINCENT MENGAJAKKU BERCANDA! Aku menutup mukaku dengan buku catatan. Wajahku mulai mendidih bukan karena terpapar sinar matahari. Senyumku yang melebar tidak bisa disembunyikan.
Aku sudah sampai di kelas, menunggu di luar, menanti bel masuk tanda ujian akan segera dimulai. Aku melihat sekeliling, tidak bermaksud menantikan seseorang. Namun, hanya rasa penasaran yang menggigil. Aku tidak melihat keberadaan Nadia. Mungkin saja dia terlambat. Pikirku dalam hati dan berakhir cuek.
Tahun ini masih menggunakan lembar jawab LJK (Lembar Jawab Komputer). Lembar jawab yang menghabiskan waktu menghitamkan di bagian data diri terutama nama. Aku yang mudah panik dan sering berkeringat dingin sangat kesulitan. Tisu tidak bisa lepas dariku. Catatan rumus tentu saja tidak kubawa. Setelah mendapat kertas buram untuk coretan aku segera mengisinya dengan rumus yang sekiranya ingat. Setengah perjalanan mengerjakan ujian membuat kepalaku capai menunduk. Aku memutar kepalaku, merenggangkan otot dan punggung.
Ting
Suara notifikasi ponsel muncul dari salah satu tas. Suara yang tidak terlalu keras ini mampu membuat semua orang tertuju pada sumber suara.
“HP siapa itu yang belum dimatikan? Ambil dan matikan sekarang!” gertakan guru membuatku semakin panik walaupun tahu bukan aku pelakunya. Namun, aku ikut gemetaran karena Nadia yang bangun dari kursinya tiba – tiba. Dia segera menuju ke tasnya untuk mematikan ponsel dan kembali ke tempat duduknya. Anehnya dia seperti terdiam mematung dan tidak lanjut mengerjakan ujian.
Ringgg ringggg
Bel tanda ujian harus disudahi. Kami secara serentak berhamburan keluar membiarkan pengawas ujian mengambil soal dan lembar jawab.
“Jess!!” Lily teriak memanggilku. Dia mendapatiku dengan wajahnya yang muram.
“Gimana ujiannya? Lancar?”
“Sebenarnya gak mau tanya jawaban, tetapi penasaran, tetapi kalo beda sama kamu makin down.” dia menggigit bibir bawahnya.
“Heii.. aku juga belum tentu benar kok.” aku mencoba menghiburnya.
“Gak usah sok merendah~~” ledeknya. Sepertinya dia tidak begitu bersedih karena dia masih bisa bercanda. Batinku.
Dug
Seseorang berlari dengan keras dari belakang menabrak bahu kananku. Dia hendak melanjutkan lajunya tetapi terhenti sesaat dan menoleh, “Ahh.. m-maaf..,” Nadia? Suaranya terdengar parau. Walaupun ini sulit dipercaya tetapi mata Nadia kelihatan berkaca – kaca. Aku tidak membalas rasa bersalah itu dan melihat dia yang kabur dari pandanganku. Meninggalkanku untuk pulang.
“Sekarang dia sering pulang buru – buru gitu ya?” Lily tidak salah menyimpulkan. Memang benar akhir – akhir ini Nadia sering pulang buru – buru seperti tergila – gila dengan rumah.
~
Hari kedua ujian sekolah, bahasa indonesia. Aku benar – benar bingung apa yang harus kupelajari dari mata pelajaran ini. Aku merapikan seragamku. Memasukkan kemeja seragamku ke dalam rok. Mengikat tali sepatu dan.... tiba – tiba tali sepatuku putus. Apa ini? Mengapa tiba – tiba sekali? Tanpa memusingkannya aku segera memamsukkan ke sela – sela sepatu dan buru – buru untuk berangkat sekolah.