AIRE tak mampu melihat apapun. Gelap gulita, bahkan saat ia membuka mata sepenuhnya pun tak ada setitik cahaya yang bisa didapatinya.Jantung berdetak cepat, Aire tubuhnya seolah dibanting dengan keras. Jelas terasa benturan pada tembok, juga tercium aroma amis yang sangat pekat. Namun, Aire tak bisa melihat apapun.
"Apakah ini konsekuensi karena telah membuka mata?"
***
"Aire, bangun sayang. Kamu dengar mama, ‘kan?"
Samar-samar terdengar suara isakan tangis. Aire mengerjap pelan, menatap sekeliling. Semua berubah, entah bagaimana ia berada di dalam kamar dengan Mama dan Papa berada di sisi ranjang dengan raut wajah cemas. Tumben sekali.
"Aire, kamu siuman?" Nyonya Hong memeluk Aire, lalu mengusap lembut surai kecoklatan putrinya.
"Sudah berapa kali mama katakan. Jangan berteman dengan kakek lusuh itu! Sekarang dia mencelakaimu!"
Gadis itu menggeleng pelan. Dirinyalah penyebab arwah pendendam itu terbebas dari guci yang telah disegel selama ratusan tahun. Kakek berada dalam bahaya, begitupun semua warga desa kecil ini.
"Kita akan pergi dari sini dan kembali ke kota. Sampai saat itu, kau bisa menunggu, ‘kan, Aire?" ucap Tuan Hong, tak kalah cemas.
Kedua orang tua itu terpaksa pindah ke sebuah desa kecil ini karena urusan bisnis. Sengaja, mereka mendirikan perumahan elit khusus pengelola bisnis dan perwakilan daerah. Pikiran primitif melekat pada penduduk lokal, seperti kepercayaan pada roh penjaga hutan dan pantai, juga iblis yang berkeliaran karena enggan ke alam baka sebelum membalaskan dendam.
Perlahan jemari ramping Aire menyentuh ujung pelipis yang diplester. Apa itu luka karena benturan semalam? Bahkan rasa pening di kepala masih tertinggal.
"Apa yang terjadi?" tanya Aire memastikan.
"Warga menemukanmu tergeletak di rumah kakek lusuh itu. Apa semalam kalian berkelahi? Apa dia menyerangmu?"
Aire menggeleng pelan. Kejadian semalam begitu aneh. Ia mendengar bisikan iblis, lalu menjatuhkan guci berisi abu, dan kabut hitam yang entah terbuat dari apa tiba-tiba menyelimuti seisi ruangan remang-remang itu. Aire terdiam dengan tatapan kosong, pikirannya masih melayang pada sosok kakek kesayangannya itu.
"Apa kakek baik-baik saja?"
"Kau ini. Kenapa malah mengkhawatirkan kakek? Dia hanya pingsan, tapi lihat kepalamu hampir pecah karena ulahnya. Kami akan melaporkannya ke polisi," ujar Tuan Hong.
Aire menggeleng cepat, lalu beranjak dari tidurnya. Kedua orang tuanya menahan, tetapi ia bersikeras berontak dengan air mata meleleh.
"Kalian tidak pernah memikirkan perasaanku! Jika aku merusak hubungan kalian, mengapa kalian mencemaskan aku? Pergilah! Aku akan tetap tinggal di sini. Sendiri."
"Aire, maafkan mama. Semalam mama terlampau emosi. Mama tidak bermaksud berkata begitu."