Masih terngiang di benak Aire, betapa ngerinya senyuman Shall siang itu. Dengan konyolnya ia langsung terperangkap dalam manis ucapan iblis, hingga terikat dalam sebuah perjanjian. Aire melangkah masuk ke perumahan penduduk lokal. Seorang perempuan tua terlihat mengaduk cairan berwarna biru. Ia yakin, itu adalah sari buah beri yang diambil dari hutan. Gadis itu pun mendekat.
"Nenek, apa itu sari buah beri?"
Nenek itu menoleh dan mengangguk pelan. Tanpa menggubris keberadaan Aire, sosok itu melanjutkan kegiatannya. Begitulah, semua penduduk desa membenci Aire karena kedua orang tuanyalah yang menjadi dalangnya.Keasrian alam yang menyejukkan mata tentu saja menjadi daya tarik wisatawan, tetapi penduduk lokal dengan keras menolak karena menganggap hal itu memberi efek negatif untuk desa mereka yang damai.
"Bolehkah aku membantu nenek. Aku membutuhkan sedikit sari buah beri itu untuk membuat permen berwarna biru."
Perempuan itu berdecak kesal, lalu beranjak dengan tatapan sinis. "Roh penjaga hutan sangat membencimu, jadi tidak usah mencampuri urusan penduduk Gimpo."
Aire tertunduk lemah di teras depan rumah kayu nenek. Tak banyak yang bisa ia lakukan, karena semua penduduk menolak untuk berdekatan dengannya, kecuali kakek.Haruskah ia pergi ke hutan sendiri untuk mencari bahan-bahan itu?
Tak banyak orang mengetahui tentang desa kecil ini. Hampir semua menganggap Gimpo adalah kota gemerlap yang berdekatan dengan bandara nasional.Tak ada yang mengira sebuah keindahan tersembunyi tetap terjaga di tepian peradaban maju itu.
"Aire sangat menyebalkan, dia bahkan mendapat fasilitas terbaik di sekolah."
Dua gadis sepantaran Aire berlalu, menggerutu kesal seolah ingin menyuarakan kejengkelan di depan Aire secara lansung.
"Tentu saja.Dia, 'kan, anak dari donatur terbesar yang menyumbangkan uang untuk pembangunan desa. Sayangnya dia tak seperti orang tuanya yang dermawan, dia hanya anak bodoh merepotkan."
Kedua telapak tangan Aire mengepal erat, hendak meninju wajah gadis sok tahu itu. Siapa yang lebih mengenal Tuan dan Nyonya Hong lebih dari Aire? Pasangan suami istri yang gemar mencari sensasi di depan publik dan melupakan putri mereka.
Dengan kesal Aire berlalu dihadapan keduanya, kemudian pergi menuju rumah kakek yang memang menjadi tujuan utamanya sejak tadi. Terdengar gelak tawa dari belakang, Aire tahu ia diejek mati-matian. Namun, apa yang bisa dilakukannya?
"Kakek, apa yang kakek lakukan?" Aire menghampiri pria tua yang tengah duduk di samping rumahnya.
"Sedang menganyam." Kakek menoleh pada Aire, seulas senyum menghiasi wajah keriput yang terlihat lemah itu. "Kau ke sini lagi? Bukankah orangtuamu melarang?"
"Memang." Aire mengambil beberapa rotan, untuk membuat anyaman seperti yang telah kakek ajarkan. "Tapi aku akan bosan jika terus di rumah."
"Apa kau baik-baik saja?" Kakek memegang lembut kepala gadis yang telah ia anggap seperti seorang cucu kesayangan. Hatinya teriris melihat bekas luka di pelipis Aire.
"Itu sudah sembuh. Lagipula, aku yang harusnya meminta maaf karena telah memecahkan guci itu."
Sekilas, Aire menatap pergelangan tangan yang sengaja ia pakaikan gelang jam. Kakek meraih pergelangan tangan Aire."Kenapa tanganmu merah? Rasanya panas, seolah iblis telah menyentuhmu."
Aire menepis pegangan kakek sembari tersenyum kecut. Memang benar. Namun, ia tak akan memberitahu kakek, karena itu akan membahayakan dirinya dan Shall jika pria tua itu mengetahui perjanjian mereka.
"Apa mungkin iblis laknat itu mendatangimu? Dia pria menyeramkan dengan luka di mata sebelah kanannya."
Pria itu mengehela napas lega sembari memegang dada. Sementara Aire merasa bersalah karena terus berbohong pada kakek. Bahkan sekarang pun, ia harus mencari bahan-bahan membuat permen, dan tak bisa memeri tahu kakek sedikitpun tentang masalahnya.