SEMUA berjalan seperti yang Aire inginkan. Kedua orang tuanya menjadi lebih perhatian dan sangat menyayangi dirinya. Papa datang ke kamarnya beberapa kali, sedangkan sang mama membawakan makan malam, lalu menyuapi dengan penuh kasih sayang.
Setelah mendengar cerita kakek, Aire menyadari betapa mengerikannya berurusan dengan iblis. Malam menjadi lebih sunyi, angin berhembus pelan dari luar jendela, menyapa wajah Aire yang memandang bulan di atas gelapnya langit malam. Ia menoleh ke bawah, di mana pria iblis itu telah menungguinya di bawah balkonnya. Shall mendongak, sementara Aire melambai.
Tanpa suara, Aire menyuarakan teriakan, "Tangkap aku," dengan gerak bibir yang mungkin hanya dimengerti Shall.
Tidak ada keraguan dalam tatapan dan tekad Aire yang melompat turun dari balkon kamarnya yang terletak di lantai dua. Gadis itu justru terkekeh saat Shall benar-benar menangkapnya, sementara bahan-bahan yang telah disiapkannya berjatuhan.
"Shall, bahannya!"
"Itu urusanmu."
Delapan warna telah terkumpul dalam paper bag yang dibawa Aire menuju tanah lapang sepi yang hanya di terangi obor. Terdapat dua meja yang saling berhadapan, lalu di masing-masing sisi terdapat sebuah tungku dan tumpukan bata dan kayu untuk melelehkan gula.
"Jadi gadis manja seperti kamu memiliki ikatan dengan iblis?" tanya Hara. "Cantik sejak awal, kata, dan memiliki keluarga bahagia. Apa yang perlu kau minta dari iblis?"
Aire tersenyum miring, tak menanggapi pertanyaan gadis itu. Seolah mengetahui segalanya tentang hidup Aire, padahal hanya melihat sampul luar yang diciptakan kedua orang tuanya.
Sebuah tunggul kayu di antara meja Aire dan Hara menjadi tempat duduk sang pangeran kegelapan yang menatap keduanya bergantian dengan tangan terlipat di depan dada.
"Waktu kalian sampai tengah malam, di mulai sejak kalian menginjakkan kaki di tanah ini."
"Hei, curang!" kesal Aire.
Melihat kelengkapan bahan-bahan Hara, buat Aire merengut kesal. Ia tau ada satu warna yang tidak ia miliki. Dengan penuh keyakinan ia mulai melelehkan gula dalam tungku, menjaga api agar tak terlalu besar. Namun, bekerja untuk iblis memang penuh kecurangan, sesekali sosok itu meniupkan angin yang membuat Aire dan Hara mengumpat.
"Apa aku masukan bubuk rumput laut ini juga?" gumam Aire sembari melirik Hara yang mulai mewarnai permennya dalam sebuah wadah kecil.
Aire tertinggal, gadis itu masih sibuk dengan gula di atas tungku dan bubuk rumput laut yang ia tuangkan perlahan. Sementara Shall memperhatikan sosok itu dengan penuh kekaguman—bagaimana Aire bisa sesantai itu padahal nyawa mereka dipertaruhkan?
"Hara sudah hampir selesai, apa kau tidak ingin cepat menyelesaikan permenmu?" tanya Shall dari belakang tubuh mungil Aire yang sibuk mengipas arang di bawah tungku dengan kedua tangan.