Satu
Hidupmu hari ini adalah harapan bagi orang yang mati kemarin.
***
SMA Gemilang seketika menjadi gempar saat sebuah berita mencengangkan sampai ke telinga semua penghuni sekolahnya. Mereka semua berlarian menuju dua tempat berbeda. Sebagian ke lapangan utama dan sebagian yang lain menuju rooftop. Albar sendiri tidak menyangka di hari pertamanya menginjakkan kaki di sini, ia langsung mendapat sambutan aksi bunuh diri tepat di depan matanya.
“Fii! Turun, Fi!” teriak seseorang dari bawah.
“Gila tuh anak! Bunuh diri di sekolah!”
“Nak, turun dulu! Kamu bisa bicarakan masalahmu kepada kami!” ujar Bu Dania gemetar. Dalam sejarah dua puluh tahun SMA berdiri, ini adalah kasus pertama.
Perempuan bernama Fivi itu sama sekali tidak menghiraukan suara di sekitarnya. Kedua kakinya sudah menapak tepat di pinggiran. Maju sedikit saja bisa dipastikan ia akan terjatuh dari lantai tiga dan berakhir mengenaskan. Memang inilah yang ia harapkan.
“JANGAN MENDEKAT!!” peringatnya ketika ada salah seorang guru yang berjalan ke arahnya.
Guru itu berhenti dan mengangkat tangannya. Mereka sama sekali tidak menyangka murid pendiam seperti Fivi akan melakukan aksi membahayakan seperti ini. Berbagai bujuk rayu sudah tidak mempan lagi. Empat matras bahkan sudah disusun di lapangan untuk berjaga-jaga.
Albar yang berdiri dua puluh meter di belakang Fivi bersama teman-teman lainnya merasa ketakutan. Lantas, ia menyenggol lengan Willy. “Ada masalah apa sih sebenarnya?”
“Gue nggak nyangka Fivi bakal senekat ini!” jawab Willy mengambang.
“Setahu gue, dia selalu dibully sama temen sekelasnya karena bokapnya jadi bandar narkoba,” sahut Ken menghela napas. “Gue kasihan lihatnya!”
Albar mengernyit heran. “Terus kita Cuma nonton di sini aja? Gak berniat nolongin dia gitu!” sarkasnya. Ia sudah mengambil ancang-ancang maju ke depan tapi dicegah kedua temannya.
“Lo jangan sok tahu! Guru aja nggak mempan apalagi kita! Lo mau Fivi beneran terjun ke bawah?”
Albar berdecak. Tidak habis pikir dengan apa yang ada di depannya sekarang. Haruskan seseorang menyerah dengan kehidupan? Daripada mengalah, bukankah lebih baik ia memperjuangkan takdirnya sendiri? Lalu buktikan pada dunia bahwa ia layak bahagia, bukan malah sebaliknya. Batinnya.
“Sial! Nih, beneran nggak ada yang bisa nolong?”
Beberapa orang di sebelahnya menggeleng. Mau tidak mau Albar hanya bisa berdoa semoga perempuan itu tidak melakukan tindakan konyol.
“Singkirkan matrasnya!” teriak Fivi. Merasa tidak digubris, ia mengeluarkan sesuatu dari saku roknya. Mata Albar membeliak melihat pisau lipat tersebut diarahkan ke lehernya.
“Busett! Emang udah niat kalau gini!” komentar Ken diikuti bisikan-bisikan di sebelahnya. seluruh siswa, terutama yang perempuan sudah menjadi histeris.
“SINGKIRKAN MATRASNYA ATAU AKU AKAN MENGGORES INI!” ancam Fifi lebih keras.
“Menggores leher saja tidak akan bisa membuatmu mati! Apalagi dengan pisau lipat!” sahut seorang perempuan dari kerumuman di sebelah kanan Albar.
Semua pandangan seketika beralih ke arahnya. Perempuan itu membelah kerumunan dan mendekat ke arah Fivi.
“Jangan mendekat!” ancam Fivi. Perempuan itu hanya tersenyum miring sambil terus melangkah maju hingga menyisakan lima langkah dari si target. Bisik-bisik kembali terdengar di telinga Albar. Namun, matanya tetap terfokus ke depan. Sekilas ia tahu bahwa perempuan berambut panjang terurai dengan jepit bunga itu bernama Trisha.
“Lo ada masalah apa?” tanya Trisha santai.