Don't Say Goodbye

Nurul Fadilah
Chapter #2

Buku Hitam Ajaib

Bab 2

Untuk pertama kalinya aku tidak ingin bermimpi, karena di sana aku melihatmu membunuh satu-persatu kebahagiaanku. Aku benci itu.

***

Wanita itu sedang memegang bunga mawar berwarna merah muda. Harum bunga membuat senyumnya mengembang sempurna. Ia membayangkan bagaimana reaksi orang tersebut saat menerimanya. Pasti menyenangkan. Lantas, ia menyembunyikan bunga itu di balik tubuhnya. Berjalan dengan langkah semangat.

Namun, semua berubah dalam sekejap.

Bunga itu jatuh bersamaan dengan teriakan yang menggema. Secepat mungkin ia berlari tapi semua sudah terlambat. Tubuhnya luruh ke lantai. Ia berteriak sekeras mungkin.

“CACCAAA!!”

Trisha terbangun dengan napas ngos-ngosan. Jantungnya berdetak kencang. Mimpi itu datang lagi. Setelah sekian lama, mimpi itu hadir kembali seolah sebagai alarm peringatan untuknya. Tanpa sadar kedua tangannya mencengkram erat sprei. Wajahnya mengeras.

Tubuhnya menegang. Di pojok ruangan, tepat di depan pintu seorang anak berbaju hitam dengan rambut panjang dan tubuh bersimbah darah menatapnya intens.

“Caca?” tanya Trisha tidak percaya. Sudah bertahun-tahun ia tidak pernah menampakkan diri. Jelas kemunculannya sekarang adalah sebuah pertanda. Spontan, Trisha menyingkap selimutnya, berlari ke arah anak itu. Di saat tangannya merentang ingin memeluknya, sosok itu hilang seketika. Trisha mengejap beberapa kali.

Setetas air mata jatuh. Buru-buru ia menghapusnya kasar. Lalu, Trisha membuka lokernya untuk mencari buku hitam itu. Ia menuliskan sesuatu di sana dengan cepat.

“Aku akan menemukanmu. Dimanapun kau berada.” Janjinya sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu.

***

Ketiga cowok itu menyantap makanannya dengan lahap diselingi beberapa obrolan ringan. Tak jarang juga, beberapa adik kelas atau cewek yang melintas menyapa mereka. Lebih tepatnya menyapa Albar.

“Sejak ada lo seketika kita kaya artis dadakan ya, Wil,” komentar Ken setelah menyeruput es setrup miliknya.

“Mereka itu nyapa Albar bukan nyapa lo, jadi jangan kegeeran!” sindir Willy.

Rasanya sudah menjadi tradisi di setiap sekolah, ketika ada seorang murid baru yang sekiranya menarik perhatian dalam tanda kutip cantik atau tampan pasti akan menjadi topik pembicaraan. Sama seperti yang dirasakan Albar sekarang.

“Andai gue setampan lo, Bar! Pasti banyak yang tertarik sama gue,” sambat Ken mengelus dada. Willy bergumam tidak jelas. Padahal wajah Ken juga tidak jelek-jelek amat.

Albar mengaduk es tehnya sembari terkekeh. “Tapi sekarang gue lagi gak pingin diperhatikan.” Tatapannya beralih ke sudut lain. Dimana ada dua orang cewek yang berjalan beriringan. “Kecuali sama seseorang.”

Willy dan Ken serempak mengikuti arah pandang Albar. Mata keduanya membulat sempurna. Untunglah Willy baru selesai minum. Kalau tidak pasti ia akan menyemburnya.

“Lo serius tertarik sama Trisha?” sergah Willy. “Menurut gue lebih baik—“

“Apa? Menghindar?” potong Albar lalu menggeleng. “Kita nggak akan tahu hasilnya sebelum mencoba.”

Belum sempat keduanya mencegah, Albar sudah bangkit dari kursinya dan berjalan ke arah Trisha. Cowok itu benar-benar nekat.

“Nyalinya gede juga ya!” Ken masih menatap punggung Albar.

“Dia cuma belum tahu siapa Trisha yang sebenarnya,” kata Willy sarat akan makna. Sekaligus khawatir dengan temannya.

Lihat selengkapnya