Kekuatan kopi terletak pada aromanya, saking kuatnya berguna bagi para dokter untuk menutupi bau amis bahkan busuk saat melakukan bedah darurat. Sang aroma telah menusuk-nusuk hidungku untuk bangkit dari tidur pagi ini, entah siapa yang kurang ajar mengumbar aroma sepagi ini.
Awal kuminum cairan beraroma itu lewat bentuk sederhana, segelas kopi tubruk asal Lampung bukan dari kafe-kafe setaraf Starbuck. Saat itu keahlian meracikku masih awam, hanya kuseduh air sampai didih, lalu kutuangkan ke wadah minumku lalu kuaduk beserta dua sendok teh bubuk kopi dan satu sendok teh gula, karena masih terasa pahit, gula pun tak cukup sesendok, mungkin mencapai dua atau tiga, lupa, itu sepuluh tahun yang lalu kala menimba ilmu management. Saat itu pula, reaksi tubuhku terutama bagian lambung menolaknya dengan hebat, diteruskan jantung yang berdetak semakin cepat lalu tak lama, dimuntahkan keluar tubuh. Sekarang, tanpa gula pun jadi.
Saat pertama adalah pergumulan antara menerima atau menolak. Jika itu semacam candu tak sehat, biasanya tubuh otomatis menolak, tapi tubuh tak akan menolak keinginan otak, sang pengatur tubuh lewat syaraf-syaraf dan hormon. Sehingga semakin sering dicoba, terlatih untuk bisa menerima, sebut saja barang-barang haram seperti rokok, narkoba ataupun seks. Tapi kategori haram itu tergantung si pemakai, lagipula, dosa itu ditanggung sendiri bukan ramai-ramai.
Akibat deskripsi istilah-istilah dan rumusan teori-teori yang tak pernah menyangkut lama di otakku, entah mengapa. Kubutuh suntikan cairan beraroma itu, demi IPK diatas rata-rata. Tubuh terlatih menerima kafein selama bertahun-tahun guna menghafal segala tetek-bengek tentang ilmu itu, demi selembar ijazah. Tetap positif menjalani sampai akhir, tak ayal kuperoleh ide untuk meracik cairan beraroma itu.
Kopi, si minuman beraroma telah menjadi salah satu candu sebagai sumber kehidupanku. Rupa lain canduku adalah Sabino Feraldi; teman baik, suami, perenggut keperawananku, yang sekarang sudah resmi sebagai mantan suami. Dirinya memang telah menjadi mantan dalam status pernikahanku, tetapi jangan heran jika ia masih seatap denganku. Alasannya masih kuselidiki sampai saat ini. Secara unconsious tak tahu alasan yang pasti, antara mencandu cumbuannya dan rumahku yang juga rumahnya.
Rumah itu rumah impian, impian masa kecil kami berdua dengan saksi seorang Tobby, serangkai ketiga yang selalu bersama, bermain sejak kecil. Alasannya, ketiga pasang orang tua kami juga berteman baik dan kami seangkatan walau aku termuda diantaranya. Sepertinya karena saking kompaknya mereka memiliki anak pun secara bersamaan. Takdir? Mungkin juga hanya sebuah kebetulan.
Tanpa mengenyam pendidikan tinggi untuk meracik kopi, lewat sebuah iklan aku mendaftarkan diri secara tak sengaja; iklan mengenai barista camp di Bandung, cukup mahal untuk durasi lima hari, tetapi lebih baik daripada tak ada dasar sama sekali, modal sisanya untuk investasi mesin demi sebuah gerai kafe. Kalau modalnya kugunakan untuk menimba pendidikan di negara asal yang mempopulerkan budaya ngopi ini, tak akan berdiri gerai kopi itu. Disini peran ilmu dari ijazah sarjanaku terpakai juga akhirnya, jadi, positif itu perlu, walau tak suka tetap kulakoni sampai lulus, toh berguna juga akhirnya. Semua pendidikan pasti berguna pada akhirnya.
...
Kembali ke rumahku yang juga rumahnya, tidurku berkurang dibuat aroma itu. Kurang ajar memang si pembuatnya, baru tertidur pukul 03.00 dini hari dan itu empat jam yang lalu. Entah kapan bisa kuingat terakhir tertidur pulas. Kafein telah merusak jam tidurku, semakin lama semakin berkurang dari delapan jam yang dibutuhkan tubuh. Tapi itu bagian dari pekerjaan, icip-icip racikan kafein di gerai kafeku, yang butuh atau tidak, mau tak mau, tubuh harus menerima dan beradaptasi. Inilah salah satu akibatnya.
Aroma itu memaksaku bangkit dari ranjang, tak rela mesin espressoku digunakan orang awam, karena yakin tak ada orang lain selain diriku yang mampu menggunakannya.
Rasa penasaran menyeret tubuhku berjalan kearah aroma berasal, kudapati Bino, pemilik nama Sabino Feraldi yang telah kurang ajar mengganggu tidurku dengan aroma buatannya. Herannya, ia bukan peminum kopi, ia tak suka minuman itu, ia melarangku untuk sering-sering meminumnya, ia yang cemburu diduakan dengan kopi, kudapati sedang meracik espresso dan kopi filter.
Untuk apa, aku tak tahu. Kugeram dibuatnya karena berulah di pagi ini. Mungkin terlalu fokus, seperti kusyuk berdoa, tak didengarnya langkah kakiku.
“Apa yang kau lakukan dengan mesin espressoku, kehabisan mainan?”
Ungkapan geramku, terlontarkan, saat jarak tinggal selangkah lagi dengan dirinya.
“Lisa! Aduhhh, kaget tahu! Ini kan panas!” Sebagian cairan espresso tumpah ke tangannya. Kuberhasil membalaskan kesalku, pikirku. Tanpa merasa salah sedikit pun.
“Bagus! Siapa suruh menebarkan aroma kopi pagi-pagi begini!” Ucapku puas.
“Jangan marah dulu, ini untukmu!” Jawabnya merajuk, sambil menyerahkan secangkir espresso, sisa yang tertumpah di tangannya.
Merasa bersalah, kuambil tissue demi melap cairan yang tertumpahkan ke tangannya, tanpa berkata maaf.
Tapi rupanya tak perlu sebuah kata maaf untuknya, aku telah memberikan imbalan yang setimpal untuknya. Matanya memandang nakal menerawangi sehelai t-shirt putih selutut di tubuhku, berbayang indahnya lekuk tubuhku tanpa terlindung sepasang pakaian dalam.
”Kalau begini imbalannya, aku akan rajin membuatkan kopi untukmu.” Berkata sambil tak lepas memandangiku dengan tambahan kedipan genit, entah hanya menggoda atau mengajak untuk bergelut di ranjang.
Terdiam, geram akan kemenangannya pagi itu.
”Jadi untuk ini kau membuatkan kopi, untuk menikmati bayangan lekuk tubuhku?”
”Bukan, ini hari perayaan ikrar janji kita di depan altar, tepatnya lima tahun yang lalu.” Ujarnya lagi, yang mulai meredakan kemarahanku. Walau untukku, itu aneh.
”Mengapa kau selalu merayakannya, ingatkah tiga tahun yang lalu pengadilan telah memisahkan kita?” Jelasku menyadarkan bahwa yang dilakukannya aneh.
”Aneh bagimu, bagiku janji itu sakral dan masih terus kuhormati. Janji itu kubuat kepada Tuhan, bukan hanya denganmu. Ingat, hanya maut yang mampu memisahkan, apa yang dipersatukan Tuhan tak dapat diceraikan manusia.” Tegasnya, menjelaskan upayanya membuatkan kopi di pagi hari itu.
”Baiklah, lalu kau ingin merayakannya dengan apa?” Nadaku mulai merendah, simpatiku terhadapnya tumbuh walau jujur, aku tak peduli lagi dengan hari itu.
”Kau yakin, tak ada sedikit pun perasaan cinta untukku di hatimu saat ini?”
”Aku menceraikanmu, bukan?”
”Benar, tapi kau masih disini bersamaku.” Tegasnya.