Don't Take My Coffee Away!

Vika Rahelia
Chapter #2

ADRIAN

Satu setengah tahun sebelum hari ini. Aku bertemu seorang pecinta kopi.

 

Adrian namanya.

Lelaki tampan, mantan model yang beralih menjadi seorang produsen kopi. Bertemu pertama kali dalam pameran produk kopi terbarunya. 

”Hai, Ibu Melisa? Saya Adrian.” Dengan ramah mengenalkan dirinya kepadaku. 

“Panggil Lisa saja, Pak.” Jawabku berusaha akrab.

”Kalau begitu, panggil saya Adrian saja.” Lalu kami berdua tersenyum.

Presentasi produk-produk terbaru sesi pertama selesai, kami berbincang lagi di dekat meja bufet yang penuh dengan berbagai jenis kopi pilihan di dampingi macam-macam pastry.

Bonus tiket dan akomodasi untuk mengunjungi pameran kopi internasional di Italia dan Turki ditawarkan, bagi para pemilik gerai kopi termasuk diriku. Jika orderan kopi dariku bisa memenuhi targetnya beberapa bulan ke depan, maka bonus tersebut bisa kuperoleh.

Terpacu untuk menambah omset gerai, otomatis orderan kopi untuknya bertambah, menyokong target divisi penjualan sehingga bonus itu berakhir digenggamanku. Ia sendiri yang akan memandu perjalanan itu.

Kesempatan itu akhirnya tiba, untuk menelusuri negara asal budaya ngopi. Tak pernah kulakukan karena tak tahu harus dengan siapa melakukannya serta sibuk mengembangkannya menjadi bisnis, lupa untuk memperkaya diri dengan pengetahuan lebih tentang obsesiku itu. Mengeksplorasi asal sejarah dan kultur kopi. 

Tak pernah terlintas akan tumbuh perasaan lain terhadap Adrian walau sebelum perjalanan dimulai sempat kusebut-sebut dalam pertemuan dengan gank gosip girl-ku; Betty, Ivon dan Laura. Mereka menggodaku karena menurut informasi dari Laura, ia masih lajang dan sedang mencari istri. 

Diawali dengan Istanbul, Turki. Eropa mengenalnya sebagai Konstandinopoly karena dulunya adalah salah satu kota yang dibangun oleh Yunani, jaman penjajahan Romawi sebelum dikembalikan ke Turki. Ada gedung bergaya Byzantinium terbesar dan termegah yang awal didirikan sebagai gereja orthodox, lalu menjadi masjid dan sekarang dikembalikan menjadi Gereja dan museum yaitu Agia Shopia.

Turki dan area Mediterania memiliki kopi tubruk yang dididihkan di *ibrik pada sebuah kompor gas kecil, khusus untuk pembuatan kopi tersebut. Tak hanya di Turki, Yunani, Makedonia dan sekitarnya juga memiliki kopi seperti ini, tak tahu siapa yang memulai, baik orang Yunani dan Turki saling mengakui itu kopi mereka walau kopi berawal dari Negara Timur Tengah menurut Adrian. Lagipula hubungan Turki dan Yunani seperti hubungan Malaysia dan Indonesia yang saling berebutan kultur dan berlomba mematenkannya. 

*Ibrik = merupakan teko kopi bergagang panjang dan merupakan salah satu wujud paling eksotis dan khas untuk menyiapkan kopi Turki

Kami mengunjungi sebuah tempat di Istanbul bernama Kurukahveci Mehmet Efendi penjual kopi giling tertua di Turki, menjual kopi segar yang digiling tepat setelah selesai dipanggang. Walau hanya membeli sebungkus kopi berisi 100 gram, antriannya cukup panjang tetapi pelayannya melayani dengan kilat dan semuanya laki-laki. Kusentuh bungkusan kopi yang baru saja kami beli, masih terasa hangatnya.  

Bagai penyihir yang meracik ramuan cinta untukku, ia meracik kopi Turki itu di hotel, lengkap dengan ibrik dari tembaga yang sekali masak cukup untuk mengisi dua cangkir single espresso. Pertama-tama ia mengisinya dengan air sejumlah dua cangkir espresso, lalu mulai memasukkan empat sendok teh penuh kopi Turki yang baru saja kami beli, kemudian diaduknya sampai mendidih dan berbuih, diulanginya sampai kali ke tiga seperti ada ritual mantra yang harus diucapkan berulang-ulang, baru disajikan dan ditambahkan gula secukupnya. Diminum setelah panas mereda dan bubuk kopi telah mengendap di dasar gelas. Saat itu pula kujatuh hati padanya lewat secangkir kopi racikannya. 

Terpesona, akan kecintaan dan pengetahuannya akan kopi. Singgah ke tempat-tempat unik bersamanya demi studi banding untuk kualitas kopinya juga pengembangan menu kafeku. Hal ini tak pernah terjadi dengan Bino karena ia bukan pecinta kopi.

Obsesinya terlihat jelas ketika bercerita sambil menikmati kopi, layaknya mendapatkan pujaan hati yang jauh lebih sempurna. Langsung membuat daftar pro dan kontra, perbandingan Adrian dengan mantan suamiku dalam pikiranku. 

Banyak kesempatan yang tak kulewatkan bersamanya, saat anggota tour lain menyerah untuk istirahat, aku menyanggupi ajakannya menelusuri seluk-beluk Istanbul berdua dengannya. Sehingga banyak waktu berkualitas untukku dan dirinya untuk saling mengenal, tertarik bahkan mungkin lebih dari itu.

Next stop, adalah Italia; negara yang mempopulerkan kultur minum kopi, penghasil mesin espresso dan cappucino, walau sekarang banyak juga dihasilkan negara lain dengan harga yang bersaing.

Mendarat di Roma dua hari sebelum pameran kopi dibuka karena ia membuka booth disana untuk memasarkan kopinya. Kopi dari Indonesia ternyata cukup terkenal di Italia walau diorder untuk berada di bawah label Italia, bukan label dari Indonesia.

Begitu mendarat, aku dan anggota tour lain beristirahat sejenak di hotel, sementara ia seperti tak pernah kehabisan tenaga, langsung sibuk mengorganisir booth untuk pameran. 

Ia memang sibuk, tapi tak pernah melupakanku, menyempatkan diri mengirimkan sebuah gaun dan sepasang sepatu lewat bell boy hotel, sebagai undangan untuk mendampinginya ke gala dinner nanti malam di ballroom hotel tersebut, alasannya mengantisipasi jika aku beralasan tak memiliki gaun karena hal ini diluar jadwal kunjungan. Tetapi mungkin ia ingin memukau diriku atas keberhasilannya menebak ukuran pakaian dan sepatuku, yang ketika kukenakan, pas. Mungkin ia telah lebih dahulu memiliki perasaan untukku.

Tiga jam waktuku untuk memilih; memukau atau membatalkan kencan pertamaku dan dikenalkan sebagai ‘pasangannya’. Walau tak sulit untuk memutuskannya, karena kuterpukau akan pengetahuannya akan diriku. Sehingga kuingin lebih jauh lagi mengenalnya, berjerih payah tampil se-wow mungkin untuk seorang Adrian malam itu. 

Waktunya tiba, sebuah ketukan pelan tapi pasti kudengar dari pintu kamarku.

”Kau terlihat cantik dengan gaun itu, tambah cantik maksudku.” Pujinya dengan penuh perhatian ketika ia pintu dibukakan.

”Kau juga terlihat tampan dengan setelan jas, tambah tampan tepatnya.” Ungkapku membalas pujiannya barusan. Lalu kami tertawa bersama. 

Gala dinner itu diselenggarakan oleh event organizer di ballroom hotel menyambut grand opening pameran yang akan dimulai besok. Acara diawali dengan makan malam, ramah-tamah dengan para pemilik booth, mencari peluang kerja sama sambil menikmatinya dengan pasangan masing-masing seperti aku dan Adrian.

”Hi, finally you bring your wife here, nice to meet you...!” Lelaki Italia itu berkenalan dengan mencium punggung tanganku dengan lembut. Konon kudengar mereka sangat sopan dan simpatik terhadap wanita, sehingga mereka dengan mudah memikat para wanita walaupun tidak tampan.

“No Alegro, I haven’t married yet and this one my biggest customer in Indonesia.”

“Well, a wife can start from a customer, right?” Sambil mengedipkan mata kepadaku dan kami pun tertawa bersama.

“Adrian, aku harus ke toilet, kau tahu dimana?” Tanyaku setengah berbisik beberapa menit kemudian.

”Ah baiklah, mari aku antar.” 

Ia mengantarkanku ke toilet.

“Kau menungguku?” Tanyaku terkejut ketika keluar dari toilet, mendapati ia masih disana. 

“Aku yang mengundangmu, aku wajib memastikan kenyamananmu bersamaku.” Jelas Adrian. 

Begitulah Adrian, mungkin itu yang membuat Laura sempat jatuh hati padanya. Selalu memastikan diriku nyaman dan menikmati setiap menit bersamanya. Atau karena itu salah satu usahanya untuk mendapatkan diriku. Tetapi tak mengapa, aku cukup menyukainya dan ia berbeda dengan Bino yang egois dan cuek. Walau kesal terhadap pikiranku mengapa harus selalu membandingkannya dengan mantan suamiku itu. Harusnya kunikmati perjalanan ini bersama Adrian, aku disini bukan dengan lelaki itu, tegasku dalam hati.

Ketika ada waktu bebas di hari berikutnya, Adrian mengajakku memenuhi undangan makan siang oleh sebuah keluarga yang merupakan salah satu customer Adrian di Italia dan mereka tak hanya mengundang makan, tapi memperlihatkan proses pembuatannya. 

Sang istri mengajakku ke dapur memintaku membantunya merebus pasta yang ternyata di Italia tidak pernah memasak pasta sampai lembek, seperti pasta yang kita makan disini, mereka menyajikannya sedikit keras dan cara mengetahui sudah cukup lembut atau tidak, yaitu saat merebusnya, adalah dengan mengambil sehelai pasta dan melemparkannya ke dinding di dapur, jika helai pasta itu menempel di dinding artinya pasta sudah siap dan kami mencoba tidak hanya sekali karena aku terlalu cepat mengambilnya. 

Setelah tugasku selesai di dapur, aku ke halaman tempat dimana jamuan makan akan berlangsung. Di sana para lelaki mulai membuat roti untuk pizza dari mengaduk tepung terigu dengan air dan raginya lalu melempar-lemparnya ke udara sampai tipis. Aku mencoba melemparnya tetapi malah jatuh ke kepalaku dan Adrian tertawa bersama anak-anak dari pembuat roti pizza yang menonton aksiku disana, aku kesal ditertawakan dan melemparkan terigu ke arahnya lalu anak-anak mengikuti yang kami lakukan sehingga terjadi perang terigu. Diakhiri dengan teriakan sang nenek yang ingin menyiapkan meja makan.

Kami bersenang-senang dengan keluarga itu dan Adrian terlihat senang sekali bermain bersama anak-anak walau mereka tidak mengerti bahasa Inggris tapi ia tetap bisa bermain bersama mereka tanpa ada kendala bahasa.

Pizza yang dibuat adalah pizza klasik, hanya saus tomat, keju parmesan dan daun basil ditambah olive oil, sedikit garam, lada, juga oregano sebagai penyedap. Dibanding Pizza di Indonesia yang rotinya tebal-tebal, di Itali tipis-tipis dan garing, kami langsung berebutan mengambil potongan pizza begitu keluar dari oven karena yang memasak di dapur masih belum muncul dan waktu makan siang sudah lewat tiga puluh menit yang lalu.

Mereka sangat senang menjamu tamu terutama tamu dari jauh seperti kami, berkumpul dan berkenalan dengan seluruh keluarga besar dengan makan di halaman mereka. Membakar pizza di oven tradisional yang mereka buat di halaman untuk acara perjamuan seluruh keluarga seperti sekarang.

Tak hanya masakan yang mereka buat sendiri, tetapi minuman. Di halaman belakang rumahnya ada kebun anggur dan mereka biasa membuat anggur sendiri, yang disimpan di basement, rumah itu cukup besar dan halamannya sangat luas bahkan semua sayuran pun berasal dari kebun di halaman rumah.

Kami makan besar dan semuanya terasa enak, mungkin karena bahan makanannya yang segar dan langsung dipetik dari kebun. Mereka pun tak henti-hentinya menawarkan kami minuman dan makanan karena prinsip mereka jika tamunya tidak bertambah berat badan setelah pulang dari rumah mereka, itu artinya mereka tidak menjamu tamunya dengan baik dan kita minum untuk itu karena mereka berhasil membuat kami kekenyangan. 

Di negara pizza dan pasta itu hampir tiap hari adalah mencoba makanan seperti di film ’Eat, Pray and Love’ yang bagian ’Eat’ berlokasi di Italia. Di lain hari ketika kami terpisah dari rombongan dan menemukan toko gelatto ternama dan tertua di Roma, seperti anak kecil yang tersesat di toko mainan, sulit menentukan pilihan rasa tetapi pelayannya dengan baik hati menyendokkan setiap rasa yang ada untuk dicicipi walau akhirnya aku hanya menjatuhkan pilihan ke rasa coklat dan pistachio sedangkan Adrian vanilla dan basil, rasa daun basil itu hanya ada di Italia aku mencoba sedikit dari Adrian dan ia tertawa melihat ekspresiku ketika mencobanya. 

Kami bersenang-senang hingga malam terakhir disana, terpisah dari rombongan yang sudah kembali ke hotel beberapa jam yang lalu, dengan segelas wine di tangan, kami berdiri di balkoni restauran tempat kami makan malam, memandangi keindahan Roma di malam hari dan entah karena suasana dan musik yang mendukung atau memang momennya benar-benar pas atau akibat perasaanku yang bahagia bisa melupakan Bino, sehingga membiarkan ia menciumku dan aku pun membalasnya. 

”Maaf, jika yang kulakukan tak berkenan.” Itu yang keluar dari mulut Adrian setelah menciumku, dibandingkan dengan Bino yang tak pernah meminta maaf dan begitu agresif jika menciumku. Lagi, aku membandingkannya, lelaki ini lain dan tak sebanding dengan Bino pikirku. 

”Tidak, aku senang bersamamu terlebih kita sama-sama pecinta kopi.” Senyumku menenangkan keresahan Adrian setelah mendaratkan ciuman di bibirku. 

Lihat selengkapnya