Suara riuh teman sekelas terasa menggema di telingaku. Aku masih dengan tatapan yang sama, memandang sang pujaan hati dari mejaku. Sahabatku kemudian asyik bergulat dengan buku-buku kuliah seusai meledek 0,01 persen kesempatanku.
Mata yang aku pandang terlihat berbinar indah dari mejaku, sesekali senyumnya bahkan membiuskus untuk larut ke dalam dunia yang mungkin tak mungkin ada aku di sana, ya dunia itu adalah dunianya.
Khavin, nama itulah yang berhasil ku simpan di memori otakku saat ia mengenalkan diri. Nama yang indah batinku, tapi sesekali menyelinap ingatan kebodohan yang aku lakukan dan aku mulai kembali menyesalinya. Tanganku dengan cepat mengacak-ngacak rambut di kepalaku sendiri, berharap otakku tak mengingat kejadian bodoh yang melewatkan sebuah kesempatan itu.
Aku masih sibuk dengan ingatan yang berputar di kepalaku, tiba-tiba secara perlahan suara langkah kaki perlahan datang dan menghampiriku yang seakan sedikit kacau. Reina yang semula sibuk dengan buku-bukunya kemudian terkejut dengan seseorang yang berdiri tepat di samping mejaku dan menyodorkan tangannya lagi di hadapanku.
Aku perlahan mendongakkan kepala perlahan seperti sebuah video yang menggunakan efek slomo. Aku menatap seseorang itu dalam-dalam. Bibirnya yang awalnya membentuk garis lurus tiba-tiba melengkung seperti bulat sabit.
" Hey, perkenalkan lagi nama gue Khavin." Khavin, ya dia mencoba memperkenalkan diri lagi.
" Eh.. Bulan sabit." Entah bibirku mulai keluar lagi, dan seakan tindakan bodoh akan aku ulang lagi.
" Bulan sabit?" Khavin menekankan suaranya.
Aku terdiam kemudian, seolah otakku ngeblank tiba-tiba. Panik, itu yang membuatku seakan langsung cosplay seperti batu. Diam dan hanya memandangnya.