DONGENG-DONGENG MASA LALU

Nyarita
Chapter #2

BERLAYAR KE KOTA

Aku berlayar ke Kota. Setelah Jakarta, Kota Bandung adalah Kota kedua yang aku datangi untuk mengadu nasib. Namun, tujuan kali ini berbeda, aku ke Bandung untuk menemui sahabatku. Sudah cukup lama aku tidak pernah pergi ke Kota. Padahal, aku penduduk Bandung asli. Tapi aku sangat jarang pergi ke Kota, terakhir  waktu ikutan lomba debat perwakilan sekolah.

Pandanganku pun sedikit asing dengan hal-hal baru yang tersuguh di sepanjang jalan. Lirik kanan, lirik kiri, banyak yang berubah. Jalan dan taman-taman sudah mulai tertata indah. Baru beberapa minggu ini aku pulang dari Jakarta. Pamit pada Sari dan tidak bisa lagi kerja disana. Aku sudah terbiasa hidup keras, banting tulang seperti yang aku lakukan ketika hidup di Jakarta. Meskipun aku berbekal kemampuan nihil ketika pergi kesana. 

Aku berhenti bekerja karena ingin kuliah sekaligus mewujudkan cita-cita Ayah, banyak duit! Aku ingin menjadi orang yang berhasil. Merubah nasib, kemudian bahagia. Cukup sederhana, bukan?

Sewaktu aku berada di Bus Damri yang melaju ke arah Terminal Ledeng. Keadaan bus cukup padat waktu itu sampai berdesakan. Aku memberanikan diri pergi ke kota sendirian. Biasanya aku suka diantar sana sini sama Ayah. Namun, Ayah sudah tua dan sakit-sakitan jadi aku melarangnya untuk mengantar. Aku menjadi punya keberanian setelah pulang kerja dari Jakarta, Sari mengajarkan aku untuk hidup mandiri dan tidak bergantung pada orang lain.

Aku turun dari bus dan duduk di kursi yang ada disana. Aku menunggu sahabatku datang, Marlina namanya, dia akrab dipanggil Mar. Rumahnya gak terlalu jauh dengan rumahku, hanya berbeda kampung saja. Aku dan Mar cukup akrab karena Mar adalah wanita pintar dan baik. Tapi nasib kami sedikit berbeda, setelah menerima kelulusan, Mar langsung kuliah dengan beasiswa penuh. Masih teringat betul ketika Mar pamit, ada hati yang merasa bangga sekaligus iri ketika Mar melambaikan tangan. Ya, namanya juga manusia, bukankah itu hal yang wajar? Nasib kita memang berbeda. Tapi, siapa sangka jika nasib itu bisa disetarakan oleh Tuhan jika kita berusaha, bukankah begitu?.

Biar aku ceritakan sedikit tentang Mar. Dia adalah orang yang punya prestasi baik di sekolah. Bisa dibilang bintang di sekolahku. Dari zaman Sekolah Dasar sampai ke Sekolah Menengah Atas, Mar selalu menjadi murid kebanggaan para guru sekaligus kebanggaan sekolah. Tak ada yang bisa menggeser prestasi Mar, aku apalagi, jangan ditanya, ha ha ha.

Masalah penghargaan jelas sudah banyak, tak bisa aku hitung, pokoknya banyak! Nih, ya, kalau aku berkunjung ke rumah Mar, piala-piala Mar bertengger di lemari yang dirancang khusus oleh Ayahnya. Mar dan aku sudah satu sekolah sejak Sekolah Dasar. Jadi, aku cukup akrab dengan Mar, bahkan dengan kedua orang tuanya. Ayahnya Mar adalah seorang Pegawai Negeri Sipil sekaligus Kepala Sekolah di salah satu sekolah di desaku. Ibunya seorang Kader Desa yang selalu aktif mengikuti berbagai kegiatan. Mar adalah anak tunggal. Kamar Mar begitu apik dan rapi. Buku-buku disimpan dengan baik. Pantas saja dia menjadi murid teladan, secara kehidupannya seperti berbanding terbalik denganku yang awut-awutan.

***

Aku daftar di tahun kedua setelah kelulusan dan mengambil Jurusan Akuntansi. Entah mengapa aku mengambil jurusan itu. Aku hanya asal mengambil jurusan saja. Menurutku menarik saja, padahal aku sewaktu SMA mengambil jurusan IPA. Aku kuliah di Universitas berbeda dengan Mar. Aku kuliah di Perguruan Tinggi Swasta sedangkan Mar di Perguruan Tinggi Negeri dengan mengambil Jurusan Pendidikan Kimia. Jurusan yang menurutku sulit untuk aku pahami. Katanya, Mar ingin mengikuti jejak Ayahnya, menjadi seorang Guru PNS. 

“Nusa!” Panggil Mar sambil melambaikan tangan.

“Hey! Apa kabar?” Aku pun memeluk Mar melepas rasa rindu.

“Alhamdulillah baik. Kapan kamu tiba di Bandung?”

“Sudah dua atau tiga minggu mungkin. He he he.”

Lihat selengkapnya