DONGENG-DONGENG MASA LALU

Nyarita
Chapter #3

RUMAH SINGGAH

Aku dan Mar berhenti di pinggir jalan setelah kami menelan satu mangkok bakso yang ada di sekitaran terminal. Kami naik angkot menuju jalan Dago. Katanya, Mar akan mengenalkan aku kepada seseorang. Yang aku dengar, seseorang itu adalah malaikat kecil yang berwujud manusia. Ya, penolong bagi kami yang hidup sulit.

Aku sangat bahagia waktu itu dan berterimakasih sama Mar. Rasanya, mimpi aku semakin dekat ketika aku bertemu dengannya. Pokoknya, Mar adalah teman yang baik menurutku. Meskipun sudah berbeda level, tapi dia tetap hangat terhadap manusia biasa sepertiku. Mar adalah manusia yang diciptakan Tuhan untuk menjadi penyelamatku dari masa-masa kelam.

Di sepanjang perjalan pun kami banyak mengobrol tentang ini itu. Kebanyakan kami membahas masa lalu semasa sekolah. Ya, apalagi selain itu? Karena hanya itu bahan obrolan yang akan terasa menyenangkan bagiku daripada aku harus menceritakan kisahku semasa aku bekerja di Jakarta bersama Sari. Disela-sela obrolan itu, aku dan Mar tertawa ria seolah di dalam angkot hanya ada kami berdua. Kami tak peduli dengan orang-orang yang melihat atau ikut menguping kisah-kisah kami semasa sekolah.

         Setelah beberapa saat kami lalui, angkot itu pun menepi di sebuah gang yang tidak terlalu besar namun kira-kira cukup untuk satu mobil saja. Mar membawaku ke sebuah rumah, rumah yang di cat dengan warna grey dan berpagar hitam lekat. Rumah itu terdiri dari dua lantai dengan halaman yang cukup luas, tak bisa diukur dengan mata telanjang, pokoknya luas dan besar. Pohon-pohon tampak tumbuh dengan baik. Bunga-bunga pun tampak bermekaran dan beraneka ragam warnanya. Ada bunga anggrek, rose, kaca piring dan masih banyak jenis bunga yang belum aku ketahui. Rumput hijau pun menjadi pelengkap halaman dari rumah itu, tak terelakkan semuanya terlihat menakjubkan. Sungguh, aku dibuat tercengang ketika melihat rumah layaknya istana bagiku. Ya, istana yang baru pertama kali aku injak di muka bumi ini. Aku sebut rumah itu, rumah singgah, namun kebanyakan yang tinggal disana menyebutnya asrama.

Rumah kedua di mana aku akan hidup, makan, minum, tidur dan segala rutinitas yang dilakukan secara gratis. Rumah tempat aku berlindung serta membangun keluarga kedua setelah keluargaku. Tak dipungut biaya sepeserpun. Di zaman yang seperti sekarang ini, kupikir tak ada orang yang berjiwa seperti Bunda di dunia ini. Tapi, aku salah, rumah ini diciptakan khusus untuk kami. Kami yang sedang berjuang untuk menyongsong masa depan lebih baik.

***

         “Waw! Ini sih, kayaknya tiga kali lipat dari rumahku,” ucapku terpaku kagum dengan hamparan keindahan yang tersuguh di depan mata. Beberapa detik aku menahan mata agar tak berkedip saking kagumnya. Hatiku pun bergumam sangat bahagia ketika aku akan tinggal di rumah itu. Rasanya, mimpiku akan segera terwujud karena merasakan tinggal di rumah orang-orang berduit.

         “Sama.” Gumam Mar, mataku pun beralih pada Mar yang sama memandangi rumah itu seolah baru pertama kali melihatnya. Padahal, rumah itu adalah rumah tempat dia tinggal. Aku menatap Mar heran dan menyenggol bahunya seketika.

“Ah! Kamu itu kan banyak sawah dan kebun! Suatu hari nanti, kamu bangun rumah kayak gini. Tinggal jentikan jari, sim salabim, jadi,” gurauku pada Mar.

Memang benar, Mar itu punya lahan perkebunan serta sawah yang luasnya tak dapat aku hitung. Tanahnya pun hampir dimana-mana. Bisa dibilang seperti juragan tanah.

         “Ha ha ha. Udah ah! Masuk yuk!” Mar pun tak menanggapinya. Aku mengernyitkan dahi melihat Mar, setelah itu aku pun mengikutinya berjalan menuju rumah itu.

Di sana, ya, di rumah itu aku disambut hangat oleh seorang wanita paruh baya. Usianya kira-kira lima puluh tahun, memiliki rambut sebahu dan sebagian rambutnya pun sudah beruban. O, ya, dia juga memakai kacamata, katanya itu sangat dibutuhkan ketika membaca koran atau majalah.

Pemilik rumah singgah itu bernama Ratih, Kemudian kami memanggilnya dengan sebutan Bunda Ratih. Katanya anggap saja dia sebagai Ibu kami, Ibu kedua setelah Ibu kandung kami. Bunda Ratih adalah seorang relawan yang baik hati. Katanya, dulu Bunda adalah seorang Guru BP dan suaminya seorang anggota DPR. Mereka tidak dikaruniai anak. Untuk itu mereka mendirikan rumah singgah ini agar menambah kehangatan suasana rumah. Dan mengurus anak-anak seperti kami yang hidup dalam keterbatasan ekonomi. Namun, kabar yang aku dengar, suaminya kini telah meninggal, selebihnya aku tak tahu dan tidak pernah aku cari tahu. Bahkan Mar sekalipun tidak tahu tentang penyebabnya.

Lihat selengkapnya