Pada pukul 4.00 pagi bahkan kurang dari jam itu sepertinya, semua mahasiswa yang berada di rumah singgah itu bangun tanpa ada yang tersisa. Sedikit gaduh di jam-jam yang menurutku kebanyakan penghuni dunia masih terlelap tidur. Suara gemercik air yang jatuh ke lantai dan saling beradu dengan suara orang-orang yang tengah mengantri. Mereka berbaris ke belakang dengan rapi.
Aku dulu, aku dulu! Kira-kira begitulah katanya yang terdengar samar di telingaku. Tubuhku terasa ngilu ketika seseorang menggunjing bahuku. Hanya aku yang tak terbiasa bangun sepagi itu. Ibu pun terkadang setengah mati membangunkanku. Katanya aku ini anak gadis pangedulan(2) he he he.
Ya, aku akui, selama aku menjabat menjadi anak Ibu, aku hanya duduk manis di rumah sambil ngobrol ini itu sama Ayah. Tapi, Ibu tak pernah marah, meskipun aku selalu mendapat ceramah darinya. Ibu tetap memanjakanku agar aku tetap fokus sekolah, hanya itu tugasku katanya.
“Nus, bangun!” Rupanya yang menggunjingku adalah Mar. Dia berbisik sambil menggunjing tubuhku terus menerus tiada henti.
“Apaan sih, Mar! Masih pagi buta udah bangunin. Ngantuk, tauk!” Aku pun kembali menarik selimut dan membelakangi Mar.
“Shalat!”
“Memangnya ini jam berapa?” Tanyaku pada Mar.
“Jam 4 subuh.”
“Belum adzan juga. Biasanya aku shalat jam 6.”
“Hah?” Mar tampak terkejut dengan kebiasaanku. aku tak mendengar dan tetap tidur. Mar pun akhirnya meninggalkanku karena harus antri wudhu seperti yang lainnya.
“Ehem.” Suara itu mengejutkanku, segera aku membuka mata secara perlahan dan langsung menyingkapkan selimut ketika mata ini menangkap dengan jelas wanita yang ada di sebelahku, ya, dia adalah Bunda Ratih. Suara geramnya sudah seperti alarm ampuh bagi seluruh penghuni di sana.
Momen ini adalah momen yang membuat aku kagum dengan rumah singgah itu. Ini adalah rumah layaknya asrama atau pesantren atau apalah itu. Kebiasaan Bunda dalam mendidik anak-anak angkatnya tak pernah gagal. Semua terlihat disiplin mengikuti aturannya tanpa terkecuali. Tentu disana ada aturan yang harus kita jalani. Contohnya tidak boleh pulang malam lewat tengah malam, kalau ada yang lewat tengah malam, ya sudah, kita akan loncat lewat pagar bagai maling. Kita harus bangun sebelum subuh untuk menunaikan shalat sunnah. Membantu membereskan rumah dan yang paling penting adalah tidak boleh ada laki-laki masuk. Katanya, bukan muhrim, haram hukumnya untuk saling bertegur sapa jika belum punya ikatan resmi. Dan masih banyak lagi aku rasa, namun itu adalah salah satu dari beberapa peraturan yang sudah final.
***
Aku sedikit terkejut dengan kebiasaan di sana. Semua penghuni rumah singgah sudah antri untuk mengambil air wudhu, berjejer dan berbaris menghadap pintu toilet yang hanya ada dua sedangkan penghuninya lumayan banyak. Keadaan rumah singgah sudah ramai di hari sepagi itu. Aku mendapat antrian paling terakhir karena bangun paling telat. Rasa kantuk yang masih dirasakan, sesekali aku pun menguap karena separuh jiwaku masih aku tinggalkan di kasur.
Satu demi satu dari mereka telah selesai wudhu kemudian mereka merapikan diri mengambil shaf masing-masing, semua serempak melakukan shalat berjamaah di mushola dengan imamnya Bunda Ratih. Sungguh ketakjuban tersendiri bagiku, untuk pertama kali aku menemukan rumah semacam ini. Meskipun bukan pondok pesantren, hanya sebuah rumah biasa, namun keadaan seperti ini merupakan lebih dari sekedar pondok pesantren bagiku.
Ternyata tidak selesai sampai disitu. Aku tampak kebingungan ketika selesai shalat, mereka pun bergegas mengambil kegiatan masing-masing. Ada yang mengambil sapu lidi untuk membersihkan halaman rumah, ada yang mengambil kain pel, pisau dan masih banyak lagi pokoknya. Semua mengambil perkakas masing-masing kecuali aku yang plonga plongo seperti orang bodoh. Semua disini dibagi tugas per kelompok. Ada yang mengerjakan halaman luar, ada yang mengerjakan bagian dalam dan ada yang bekerja di dapur membantu Bunda masak.
“Heh! Kamu mau ambil apa?” Tanya Mar padaku yang masih diam sambil memperhatikan orang-orang disana.