DONGENG-DONGENG MASA LALU

Nyarita
Chapter #5

HARI PERTAMA

Hari pertama, aku memakai baju terbaikku. Kusiapkan sendiri buku dan alat tulis lainnya. Kemudian aku bercermin memasang senyuman terbaikku dan tentu dengan baju terbaik pula yang dirancang khusus oleh Ibu, desainer terhebatku. Aku cukup percaya diri, karena ini adalah cita-citaku dari dulu.

“Semangat betul, senyummu kurang lebar!” Mar menggodaku, dia baru selesai mandi dan sebentar lagi akan berangkat kuliah sama denganku.

“Harus segimana? Terlalu lebar juga gak bagus, kan?”

Mar hanya tersenyum saja. “Nanti ku tunjukan jalan ke kampusmu, kamu bisa sendiri, kan?”

“Bisa, aku bukan bocah lagi.”

Sebelum berangkat ke kampus, kami mengambil sarapan ke lantai satu dan kembali makan di kamar masing-masing. Sempat aku pun bertanya-tanya mengapa tidak makan bareng dan satu meja, tapi ah! Aku tak mau terpikir dengan hal-hal sepele.

Kuturuni anak tangga dan aku berpamitan pada Bunda. Semua penghuni rumah singgah punya jadwal yang berbeda-beda. Jadi tidak semua berangkat pagi, ada juga yang siang.

***

Aku mengikuti program matrikulasi pada saat kuliah. Itupun aku terlambat satu minggu dari yang seharusnya. Di kampusku dulu ada program seperti itu, katanya sebagai program untuk perkenalan kampus saja. Jadi Mahasiswa yang mengikuti matrikulasi akan masuk lebih awal dari yang seharusnya. Semacam itu yang aku tahu. Jadi, Mahasiswa baru pada tahun ini bisa memilih mau ikut program matrikulasi atau reguler. Namun yang ikut program matrikulasi lumayan banyak, sisanya akan masuk satu bulan setelahnya.

Lokasi kampusku cukup jauh. Dari rumah Bunda satu kali naik angkutan umum. Ongkosnya 3 ribu rupiah. Jadi aku hitung ongkos bolak balik selama sebulan sekitar 150 ribu rupiah. Tapi, untuk sampai di jalan raya yang dilalui angkutan umum, aku harus rela berjalan sekitar 100 meter. Jadi, aku harus berangkat satu jam sebelum kelas dimulai untuk antisipasi jika terjadi sesuatu di jalan. Begitu juga pepatah Bunda padaku. Di Kota Bandung, Bunda adalah waliku, jadi aku harus mengikuti kata-kata Bunda, begitu juga yang lainnya.

 Oh ya, sebelum akhirnya aku tinggal di rumah singgah, aku ikut tes SBMPTN dulu, tapi sayang gak lulus. Tujuanku ke UPI, mengambil jurusan pendidikan biar cepet dapat kerja. Namun rencana tidak selalu berjalan sesuai harapan, kemudian Bunda Ratih mengulurkan tangannya untuk menolongku melanjutkan kuliah. Mar menceritakan semuanya kepada Bunda tentang keinginan terbesarku untuk kuliah. Singkat cerita, aku pun diundang Bunda lewat Mar untuk datang ke rumahnya dan tinggal disana sambil kuliah. Baik Mar atau Bunda, mereka seperti pahlawan bagiku.

Entah ini bagian dari takdir yang sudah menjadi skenario Tuhan, namun aku cukup bersyukur atas itu. Aku tinggal di rumah singgah berbeda dengan yang lain, tidak mendapat beasiswa full dari kampus dan tidak pula kuliah di Universitas Negeri. Aku hanya mengandalkan surat dari desa sebagai mahasiswa kurang mampu dan sisanya aku dibiayai oleh Bunda Ratih. Awalnya aku menolak, aku tidak mau menambah beban Bunda.

“Kamu memangnya bisa bayar kuliah sendiri?” Tanya Bunda.

“Saya akan berusaha cari kerja, Bun.” Kataku sewaktu aku dipanggil oleh Bunda dan hanya aku seorang yang dipanggil kesana.

“Cari kerja tak gampang, sekarang bukan waktunya kamu menolak, tapi kamu juga harus menerima uluran tangan saya.”

Aku diam sejenak mencerna kata-kata Bunda, memang omongan Bunda ada benarnya juga, saat ini aku tidak boleh menolak karena aku belum punya apapun terlebih pekerjaan. Tabunganku habis dipakai beli laptop, katanya jadi anak kuliahan laptop itu adalah barang yang wajib kita punya. Jadi aku belikan sisa tabunganku untuk membeli laptop. Bunda menyodorkan sebuah kartu ATM. kubilang begini pada Bunda.

“Ini apa, Bun?” Kataku ketika Bunda menaruh ATM di depanku.

“Gunakan saja ini, nanti setiap bulannya akan ada uang masuk untuk biaya kuliah kamu,” begitu tuturnya.

Sejak saat itu aku mulai merasa tidak nyaman dan merasa dibedakan dengan yang lainnya. Aku memiliki keuntungan yang berlipat dibandingkan dari yang lainnya, namun entah kenapa rasanya aku memikul beban yang sangat berat. Namun, kusimpan ATM itu alih-alih untuk berjaga-jaga jika aku perlu uang untuk bayar kuliah atau ada biaya kuliah di luar itu.

Lihat selengkapnya