DONGENG-DONGENG MASA LALU

Nyarita
Chapter #6

TAKDIR YANG DIHIRAUKAN

Setelah masa Matrikulasi berakhir, barulah kami melakukan OSPEK bersama dengan Mahasiswa program reguler. OSPEK di setiap kampus sudah pasti ada. Tapi namanya bukan OSPEK, seingetku namanya perkenalan kampus bagi Mahasiswa Baru. Tapi bagiku itu tetap OSPEK, soalnya kita disuruh bawa ini itu tiap hari, dari mulai makanan, pakai name tag, pakai baju hitam putih dan lain sebagainya. Pokoknya masih ada lagi pernak perniknya yang aku sendiri sedikit lupa. Yang paling mengenang adalah kita disuruh ini itu, contohnya saja tampil di depan banyak orang, satu sama lain saling menghibur, bahkan kita main game untuk menyerukan kekompakan antar peserta.

Kita dibagi beberapa kelompok, satu kelompok itu terdiri dari 10 orang. Tapi per kelompok terdiri dari beberapa orang dari berbagai jurusan. Ketua di kelompok aku namanya Wisnu waktu itu, anak Pajak. Kala itu aku dihubungi Wisnu lewat pesan singkat dan kami disuruh kumpul di sekitaran Balai Kota Bandung untuk membicarakan konsep OSPEK.

“Ada saran?” Kata Wisnu kepada kami yang masih plonga plongo kebingungan dengan persembahan di akhir acara nanti. Padahal waktu itu OSPEK pun belum mulai, tapi Wisnu sudah ancang-ancang nyiapin ini itu agar tidak serba dadakan.

“Aku sih, bisanya nulis,” kataku.

“Nulis apa?”

“Ya, nulis cerita aja ngarang,” kataku lagi.

“Ya udah, kamu bikin karangan aja.”

“Masa? Ini kan pentas bersama, masa aku yang tampilnya.”

“Ya, nggak, kamu nulis, kita pentas sama-sama. Jadi kamu bikin ceritanya.”

Aku pikir itu bukan ide yang terlalu buruk. Meskipun aku memang tak memiliki ide apapun, hanya menulis yang aku bisa. Nulis ini itu yang ada di otakku. Tak ada aturan, bahkan koleksi cerpen dan puisi bahkan novelku sudah lumayan banyak. Aku pun pernah menjadi penulis drama anak-anak di kampung. Bakatku menempel sejak SMP. Senang bercerita ke dalam buku ternyata bisa menjadi sebuah karya seni.

Baik kembali ke cerita, saat itu aku pun melihat beberapa kelompok yang sedang berkumpul membicarakan perkara OSPEK sama seperti kelompokku. Aku yakin mereka juga satu kampus denganku, meskipun diantara mereka tidak ada yang aku kenal. Ternyata yang kumpulan di Balai Kota Bandung bukan kelompok aku saja. Waktu itu, tempat itu sudah menjadi tempat favorit bagi kami untuk berkumpul, berdiskusi, bahkan pacaran he he he. Karena memang lokasi kampus dekat dengan Balai Kota Bandung.

 Waktu itu aku tak begitu peduli dengan orang-orangnya. Aku hanya mengingat wajah mereka sekilas. Terlihat kelompok mereka sedang diskusi yang dipimpin oleh seorang laki-laki, itu saja yang aku ingat. Laki-laki itu begitu lantang dan berwibawa, memberikan segala arahan dan cara mengutarakan idenya sangat membuat aku kagum. Begini kira-kira katanya.

“Jadi nanti kita pentasnya nyanyi, satu orang bermain gitar dan dua orang jadi vokal satu perempuan satu wanita dan bla bla bla …,” gumam laki-laki itu dan masih ada yang lain yang aku tak begitu dengar, pikirku seserius itu dia menanggapi masa OSPEK berbanding terbalik dengan kelompokku yang masih pada bingung.

Tidak ada acara lain selain membahas masalah OSPEK. Karena masa matrikulasi pun sudah beres. Hari itu aku putuskan untuk pulang saja dan menyiapkan berbagai perlengkapan OSPEK.

***

Pulang dari kampus, Ida dan aku pergi untuk mencari perlengkapan OSPEK. Banyak pernak pernik dan belum lagi bikin atribut seperti name tag, topi kerucut dan masih ada lagi yang lainnya. Aku dan Ida memang tidak satu kelas, tapi aku dan Ida selalu barengan jika ada tugas kampus yang bersifat umum. Kami beli beberapa karton dari fotokopian dekat rumah untuk bikin name tag dan topi.

Lihat selengkapnya