DONGENG-DONGENG MASA LALU

Nyarita
Chapter #8

SUKA DAN DUKA

Dari yang aku dengar, ada beberapa Donatur tetap yang kini ikut andil membiayai kami. Tentu tinggal di rumah singgah butuh biaya, bukan? Tidak mungkin hanya mengandalkan uang pensiunan Bunda yang tidak seberapa. Belum lagi listrik dan air yang biayanya pasti tak sedikit karena penghuninya lumayan banyak.

Kami disana memang tak pernah memikirkan makanan, listrik dan air apalagi. Tugas kami disitu hanya disuruh belajar dan menjadi orang yang sukses. Mencapai mimpi-mimpi kami lalu hidup bahagia. Sudah sama seperti tujuanku, jadi, bagaimana aku bisa menolak untuk tinggal bersama dengan mereka di rumah singgah itu?.

Selama kami tinggal disana, kami tidak pernah kekurangan makanan. Setiap hari makanan sudah tersaji di meja makan dengan lauk yang berbeda-beda setiap harinya. Tidak di alas, kami bebas mengambil nasi sepuasnya, ya, asalkan tahu diri saja. Makanan yang menjadi daging di tubuh kami itu adalah pemberian para Donatur tetap.

Aku pernah mendengar, katanya para Donatur itu adalah alumni rumah singgah yang sudah merantau jauh dan tentunya sudah sukses juga. Katanya juga, mereka kini sudah menjadi orang-orang hebat, ada yang sudah jadi PNS, kerja kantoran, bahkan pengusaha. Tentu sumbangan itu tidak selalu dalam bentuk uang. Bisa berupa makanan atau baju-baju bekas yang masih layak pakai.

Sewaktu aku pulang kuliah, Mar kebetulan lagi gak ada jam kuliah. Disana juga ada Rani, teman kamar sebelah yang lagi numpang ngerjain tugas, saat itu di rumah singgah hanya ada kami bertiga, sisanya masih pada kuliah. Bunda sedang pergi kajian, terkadang kita juga harus ikut kajian, tapi waktu itu Mar dan Rani lagi datang bulan dan aku baru pulang dari kampus, jadi kami berbincang kecil di dalam kamar selagi suasana lagi sepi.

Memang keadaan rumah bener-benar sepi pada saat itu. Jika tak ada kuliah, kami hanya berdiam diri di kamar seharian, tak berani menyalakan televisi atau merambah ke ranah yang bukan untuk kami. Pada awalnya aku pun bertanya, kenapa seperti ini, tapi aku pun menjadi terbiasa mengikuti kebiasaan mereka, ada batasan yang harus kami jaga jika tinggal di rumah orang lain.

“Apa sebanyak itu? Orang kaya mana yang ngasih sumbangan segitu banyak?” Tanyaku pada Mar sewaktu kutanyakan tentang rasa penasaranku pada rumah singgah. Ya, jelas, tidak mungkin Bunda mengandalkan uang pensiunan untuk memberi kami makan.

“Aku juga gak tau, gak pernah nyari tau juga, yang jelas orang banyak duit!”

“Berapa duit?” Kataku sambil tertawa kecil.

“Puluhan mungkin,” sambung Rani.

“Lulus dari sini udah pasti jadi orang berhasil?” Tanyaku pada Rani sementara Mar asyik bermain handphone sambil tiduran terkadang sesekali dia senyum-senyum sendiri. Dan aku pastikan bahwa Mar sudah memiliki kekasih atau laki-laki yang sedang dekat dengannya. Aku tak berani bertanya perihal itu, biarkan saja, karena kita sudah sama-sama dewasa meskipun dalam islam pacaran itu tidak boleh.

“Ya, belum tentu, cuman rata-rata saja.”

“Ya itu mah nasibnya aja bagus, sebenarnya Bunda hanya pelantara, hasil akhirnya tetap Tuhan yang menentukan,” jawab Mar.

“Koneksi Bunda itu banyak, sampai jodoh pun bisa diatur,” celetuk Rani.

“Maksudnya?”

“Udah-udah, intinya nanti kita juga harus seperti itu,” kata Mar.

“Harus?”

Lihat selengkapnya