Entah berapa kali mata kami bertemu secara kebetulan, atau hanya mataku saja yang tak sengaja melihatnya. Setiap ke kampus aku selalu bertemu dengan Adnan. Entah sebuah takdir atau ini hanya kebetulan. Keduanya sulit dibedakan, yang jelas, atas semua itu ada yang sudah mengatur, bukankah begitu?.
Rasanya Adnan selalu ada setiap hari di kampus. Rasa gugup dan hati sering kali berdesir ketika kami berpapasan. Padahal, aku sama sekali belum mengenal Adnan. Aku hanya tahu sebatas nama. dan belum berkenalan secara resmi. Aku sering mendengar namanya disebut oleh sekelompok kawan-kawannya. Ya, aku tahu bahwa dia adalah Adnan. Belum tahu asal usulnya, tapi dia laki-laki yang telah singgah di hatiku dengan amat cepat.
Aku tak pernah menjalin hubungan dengan siapapun, bahkan aku selalu takut untuk memulai hubungan dengan seseorang. Entah, sifat ini sudah mendarah daging, keturunan atau apalah itu, namun rasanya aku tidak percaya diri jika aku harus memulai hubungan. Sampai aku hampir tak pernah dekat dengan laki-laki dalam hidupku, kecuali Ayah dan Kakek. Hanya berandai, berharap bisa mendapat jodoh dari Tuhan, seseorang yang bisa merubah nasibku dan keluargaku.
Bertemu dengan Adnan adalah sebuah keajaiban yang tak pernah aku sangka. Kukira hati ini sudah terkunci rapat dan akan terbuka kembali setelah menemukan laki-laki kaya. Tapi, cinta tidak sesederhana itu. Kunci hatiku perlahan longgar dan hampir terbuka, dan Adnan masuk dengan cepat tanpa permisi.
Seperti yang sudah aku katakan, tak sulit untuk menemukan Adnan. cukup ke lobby atau perpustakaan, maka dia akan berada disana dengan sejumlah kebiasaannya. Pernah suatu hari aku temukan dia di depan Lab Komputer yang disana terdapat bangku di luar ruangan itu. Dia duduk disitu mojok sambil mendengarkan sesuatu, yang entah aku juga tidak tahu apa itu. Tapi, jika dilihat dari caranya mengangguk-angguk, ya, sepertinya Adnan sedang mendengarkan musik. Dia selalu asyik setiap kali aku lihat. Gayanya selalu sama, acuh dan tak peduli dengan orang-orang sekitar. Fokus pada sebuah laptop sambil mendengarkan musik yang tampak asyik.
Aku tidak punya alasan untuk mendekat. Berkenalan apalagi, gengsi bagi seorang perempuan untuk ngajak kenalan ke laki-laki terlebih dahulu. Meskipun aku ingin menjadi temannya saja, rasanya sulit. Mungkin bisa saja aku datang dan mendekat tiba-tiba, namun aku takut akan diacuhkan olehnya. Aku hanya bisa mengandalkan Tuhan untuk menghubungkan aku dengannya.
“Nan, meneh(5) lagi ngapain?” Tanya Danu dan teman-teman lainnya datang, terkesiap Adnan pun langsung mengecilkan volume laptopnya. Ternyata saat itu mereka ada mata kuliah Lab Komputer. Aku dengar beberapa temannya membahas itu. Katanya begini, “Dosen na aya teu, Nan?(6)”
“Ada, tadi urang(7) udah tanyain ke Akademik.”
“Maneh dari jam berapa disini?” Tanya Regi.
“Biasa.”
“Anak rajin si Adnan mah,” celetuk salah satu temannya yang aku juga lupa namanya siapa.
Tak heran jika Adnan dicetuskan sebagai Ketua Kelas juga, secara dia itu anaknya rajin dan pintar. Meskipun rada(8) judes. Menurutku itu adalah kebiasaannya, alih-alih membaca buku, Adnan lebih suka membuka laptop dan bermain dengan jarinya sambil dengerin musik.
“Jangan belajar terus, Nan, nanti kelewatan,” Kata Regi.
“Kelewatan apa?”
“Kelewatan pinter, ha ha ha.”
“Meneh kelewat bodoh, ha ha ha,” balas Danu.
Sepertinya Danu dan Regi adalah teman-teman yang lebih sering ngerecokin Adnan, yang aku perhatikan di setiap harinya sih, begitu. Anaknya pintar dan sederhana, begitu mungkin cara teman-temannya menyukainya. Meskipun terbilang cuek, tapi kawan-kawannya senang berada di sekitarnya.
Kabar tentang Adnan mudah sekali menyebar di angkatan kami waktu itu. Kupikir, dia adalah laki-laki yang punya banyak penggemar. Ah, aku mana berani dan mana mungkin bisa menjadi bagian darinya. Aku hanya wanita biasa, tak berbekal kemampuan apa-apa. Bahkan, aku pun tak tahu Adnan itu anak orang kaya atau bukan.
Tak banyak yang aku lakukan jika jam kuliah sudah selesai. Palingan mampir ke kosan Ica atau Rini, nonton Drakor sampai puas. Ketawa ketiwi bersama. Menangis sesegukan bersama. Bahkan malu-malu bersama ketika melihat adegan yang romantis. Ngemil ini itu dan masak apa yang disuguhkan Rini. Rini tak pernah membatasi kami untuk membuka kotak harta karunnya alias kulkas yang penuh dengan makanan, dia membebaskan kami makan apa saja yang ada disana. Menurutku, orang yang ngekos seperti teman-temanku itu, mereka seperti hidup di surga yang bebas kemanapun, ngelakuin apapun dan yang penting tidur kapanpun.
***