Selama tiga hari aku tinggal di kampung bersama Ibu dan Ayah. Aku absen kuliah selama tiga hari juga. Aku mengatakan kepada Ica dan Rini tentang kondisiku dan menceritakannya kepada Dosen yang mengajar selama tiga hari itu.
Tinggal di rumah singgah banyak mengubahku ternyata. Aku menjadi banyak keterampilan. Dari mulai beres-beres rumah, belanja sayuran, nyuci baju, dan masak walaupun sebisaku. Selama aku di rumah, aku membantu Ibu, mengurus Ayah dan sebisa mungkin pekerjaan rumah aku kerjakan sendiri. Bahkan Ibu pun sempat heran dan merasa tak percaya bahwa anak gadisnya sudah dewasa sekarang. Selama aku disana, kubiarkan Ibu beristirahat atau bermain dengan mesin jahitnya.
Setelah tiga hari aku kembali ke Bandung, pamitan pada Ayah dan Ibu. Meskipun sedih setiap kali meninggalkan mereka, apalagi keadaan Ayah yang belum benar-benar pulih, Tapi, di Bandung masih banyak hal yang harus aku kerjakan. Dari mulai mengurus seminar, menyusul materi kuliah yang tertinggal selama tiga hari, dan tentu melakukan serangkaian kebiasaan di rumah singgah.
Terasa benar sampai kini, Ayah selalu melambaikan tangannya di ujung pintu dengan berkaca-kaca. Aku pun demikian. Setiap kali aku kembali ke Bandung, aku selalu berjanji akan mengubah nasib keluargaku menjadi lebih baik.
***
Aku ke kampus hari ini. Adnan memberitahuku bahwa hari ini ada rapat anggota HIMA. Semua harus berkumpul di ruangan khusus anggota HIMA yang ruangannya tidak terlalu besar, sekitar 3x3 meteran luasnya. Rapat kali ini dalam rangka membahas seminar. Ica dan Rini pun ikut karena mereka menjadi seksi logistik dan konsumsi seperti yang aku usulkan waktu itu.
Ketika semua sudah kumpul di ruangan. Aku merasa pandangan Adnan tak lepas kepadaku. Aku hanya membalas tatapan itu sesekali dan ngobrol ini itu sama Ica dan Rini sambil nunggu yang lainnya datang.
"Cieee," bisik Ica.
"Apa?"
"Aku perhatiin, Adnan merhatiin kamu, Nus."
"Nggak ih, dia mana mungkin begitu," kataku.
"Kenapa?"
"Ya, gak mungkin aja. Dia begitu karena aku tiga hari gak laporan mengenai proposal seminar ke dia."
"Emang dia gak tau Ayah kamu sakit?" Tanya Rini.
"Tau."
"Terus?"
"Dia gak jawab apa-apa."
"Ih, gila parah," gumam Rini, dan Ica pun mengangguk setuju.
“Tapi, dia tanya alamat rumah.”
“Kamu kasih?”
“Nggak, ngapain? Gak jelas juga mau ngapain,” kataku.
“Ngelamar kali,” kata Ica. Aku menepuk bahu Ica seraya mereka terkikik geli.
Setelah beberapa menit, semua sudah berkumpul di ruang HIMA. Adnan memimpin rapat waktu itu dibantu dengan Seksi Humas.