DONGENG-DONGENG MASA LALU

Nyarita
Chapter #17

HARI PERESMIAN

Suasana kota Bandung kian hari kian dingin saja. Entah ini pengaruh suasana hati atau memang benar cuacanya sedang dingin. Namun, mata dan hatiku tetap sama tak pernah elak memandang jika manusia itu melintas di hadapanku. Ternyata hati memang tidak bisa berbohong. Aku memang telah jatuh cinta pada sosok laki-laki itu. Rasa nyaman yang dia berikan membuat aku menjadi rindu setiap hari. 

Aku sedang membuat sebuah presentasi untuk tugas kuliah. Lalu Ida datang, di kamar waktu itu hanya ada aku. Mar sedang pulang kampung. Rania sedang ada keperluan di kampus. Ketika aku sedang fokus menatap layar laptop sambil sesekali melihat buku panduan yang aku simpan di sebelah kiriku. Aku juga lupa mata kuliah apa, namun ada beberapa momen yang aku ingat tentang masa kuliahku. Bahwa aku pernah memiliki pengalaman pilu yang akan aku ceritakan pada kalian.

“Nus, cieee,” kata Ida yang datang tiba-tiba dan langsung bilang begitu padaku.

“Apa?” Kataku sambil mengernyitkan dahi. Jelas aku bingung Ida datang-datang bilang begitu. Kemudian Ida segera duduk di sebelahku dan menatap aku baik-baik. Ida tersenyum padaku sambil mencubit lenganku.

“Udah punya pacar,” kata Ida lagi sambil senyum-senyum, kenapa dia yang paling bahagia dibandingkan aku.

“Pacar?” Aku malah heran Ida bilang begitu, siapa yang punya pacar sudah jelas aku ini masih jomblo.

“Ya, ampun, seisi kampus juga udah tau, kali.”

“Ya, apa?”

“Itu, kamu sama Adnan. Kalian pacaran, kan?” Tanya Ida sungguh-sungguh. Responku hanya biasa saja waktu itu. Namun dalam hati aku terkejut luar biasa. Ternyata kabar aku dan Adnan telah menyebar sampai ke pelosok kampus. Aku sangat cemas dan malu saat itu. Bukan malu karena dekat dengan Adnan, aku hanya malu menghadapi orang-orang di kampus. Dapat aku pastikan, besok atau hari-hari berikutnya pun aku dan Adnan akan menjadi trending topik di kampus. Dan mata orang-orang disana akan tertuju padaku.

“Dia bukan pacar aku,” aku bilang begitu pada Ida.

“Ah, jangan jaim, kurang apa lagi coba, aku dukung dia sama kamu, Nus. Nih, ya, Adnan itu sudah punya rumah, anak polisi, sama anak satu-satunya di keluarganya. Sudah pasti dia itu anak orang kaya. Zaman sekarang, susah cari jodoh yang udah punya segalanya,” tutur Ida.

“Yang punya segalanya itu Tuhan,” aku bilang pada Ida begitu dan mencoba tetap tenang di depannya.

“Aku tau, maksudku kaya.”

“Hah? Tau dari siapa?”

“Itu, loh, aku punya kenalan satu kelas dengan Adnan namanya Melisa, katanya Adnan itu anak orang ada. Ya, meskipun rumahnya belum jadi, tapi kamu nanti hidup berkecukupan,” Ida menjelaskan begitu rinci padaku bahkan dia sangat mendukung hubunganku dengan Adnan. Tapi anehnya, dalam hati kecilku, aku tidak merasa bahagia karena baru mengetahui bahwa Adnan itu adalah anak orang kaya. Bahkan, hati kecil ini berbicara, aku mencintai Adnan bukan karena itu. Jauh sebelum aku mengetahui apa yang diceritakan Ida, aku memang sudah jatuh cinta pada sosok Adnan.

“Cieee,” katanya lagi. Aku hanya mendengus sambil tetap fokus mengerjakan tugas, meskipun sebenarnya pikiranku jadi buyar gara-gara Ida yang menceritakan tentang Adnan.

“Mandi sana, bau asem,” kataku pada Ida. Ida memang sering menggodaku untuk hal-hal tertentu. Ternyata anak itu pulang cepat dari biasanya hanya karena ingin mengucapkan itu padaku. Namun aku berterima kasih waktu itu pada Ida, karena informasi dari Ida, aku menjadi tahu latar belakang Adnan yang selama kenal dengannya aku tidak pernah diberitahu olehnya.

***

Pada awal semester empat, Adnan memang sudah menyandang status sebagai karyawan. Adnan bekerja untuk Dosennya, mengaudit beberapa perusahaan kecil. Tapi, masih daerah sekitaran Bandung. Sempat aku berpikir, beruntung sekali jadi Adnan, bisa kerja sambil kuliah alias baru menyandang status menjadi Mahasiswa tapi sudah bisa berpenghasilan. Padahal, aku nyari kerja setengah mati tapi tak dapat. Aku hanya bisa memberikan les akuntansi ke beberapa anak SMA yang honornya tak seberapa. Pekerjaan itu aku dapat dari teman sekelasku namanya Nadin, dia memberiku pekerjaan itu karena katanya aku ini mudah dimengerti jika menjelaskan. Ya, meskipun aku mengakui, aku tak sepandai Mar, tapi aku berhasil memahami Ilmu Akuntansi meskipun masih di level bawah. Aku pun tidak lama keluar dari perusahaan asuransi, karena aku terlalu payah untuk mencari nasabah. 

Lihat selengkapnya