DONGENG-DONGENG MASA LALU

Nyarita
Chapter #18

KESEDIHAN YANG BERLARUT

Dari luar terdengar suara orang yang sedang berbincang di ruang tamu. Menurutku, memang ruangannya kurang kedap suara jadi obrolan dari ruang tamu bisa terdengar ke luar bahkan ke lantai dua. Mereka tertawa ria tampak asyik aku dengar. Kulihat sekilas disana ada Rania. Seperti biasa, kupelankan langkahku untuk mendengar isi pembicaraan itu, karena aku pun penasaran isi perbincangan mereka. Apakah Rania sudah dijemput oleh calon suaminya. Tak salah, jika aku berpikiran demikian, karena hampir semua penghuni yang pernah tinggal disana, pernah mengalami masa yang sama, terlibat dengan perjodohan. 

Kupikir Rania telah menjadi salah satu penghuni yang terlibat perjodohan seperti Nur. Meskipun aku tahu, tidak sedikit penghuni di rumah singgah yang mendapat pasangan dari Bunda, yang tidak aku ceritakan. Bunda percaya, bahwa cinta itu bisa terbentuk dengan sendirinya setelah menjalani pernikahan. Namun aku tidak setuju, bagaimana kalau kita tidak bahagia? Apa yang menjadi jaminannya?. 

Mungkin hanya aku yang tidak setuju dengan adanya perjodohan ini. Menurutku, jodoh itu harus dicari oleh diri sendiri agar kita tahu bagaimana sifatnya, latar belakang saja tidak cukup, itu, sih, hanya pendapatku saja. Walaupun tidak sedikit pula yang mendapat jodoh lewat perantara orang lain. Namun, menolak perjodohan itu bukankah hak kita sebagai manusia?.

Seperti biasa, orang-orang di rumah singgah itu pun ikut menguping dari lantai dua. Tujuannya aku juga tidak tahu, mungkin hanya rasa penasaran saja. Namun mereka selalu buyar ketika tertangkap basah olehku. Aku tak melihat Mar di kerumunan itu. Setelah aku masuk kamar, ternyata Mar tidak ikut berkerumun di luar, dia sedang sibuk merapikan segala hal yang dekat dengan dirinya.

"Kamu sedang apa, Mar?"

"Beres-beres." Kata Mar, memang dia sedang merapikan bukunya dan memasukkannya ke dalam tas, kemudian dia juga merapikan beberapa baju dan dimasukan ke dalam koper. Namun selain itu, aku pun melihat barang-barang Rania yang sudah dikemas rapi. Semua barangnya tidak ada yang tersisa. Aku cukup terkejut ketika kulihat itu semua. Bahkan aku tidak tahu bahwa Rania akan pergi begitu cepat.

“Teh Rania mau kemana?” Tanyaku sambil duduk di dekat Mar yang sedang merapikan barangnya. Kubantu Mar sebisaku yang dapat aku raih di sekitarnya.

“Ya, jelas mau pergi,” kata Mar sambil tersenyum padaku lalu merapikan barang-barangnya kembali.

“Kenapa?” Aku malah kelihatan heran waktu itu.

“Sudah ada yang jemput.”

“Siapa?” Aku semakin tak mengerti dengan ucapan Mar.

“Jodohnya.”

“Dari Bunda?”

“Bukan.”

“Terus?”

“Kabar dari angin katanya, dari temannya, itu yang lagi di bawah.”

“Calon suami Teh Rania?”

“Iya.”

“Yah, sepi dong kalau Teh Rania gak ada,” keluhku.

“Nanti juga ada yang baru,” gumam Mar. Mar tak seperti biasanya berbincang denganku tanpa menatap mataku. Biasanya, matanya akan berbinar atau emosinya dapat aku baca walaupun aku bukan peramal. 

Selama hidup disana, aku cukup diselimuti rasa khawatir akan bernasib sama seperti mereka. Terlibat perjodohan yang mungkin akan menyakiti salah satu pihak karena aku sudah memiliki Adnan. Namun, cerita cinta yang dialami Rania tentu berbeda, dia mencari jodoh sendiri dan membawanya ke hadapan Bunda, aku pun harus demikian, begitu pikirku waktu itu.

“Lalu kamu mau kemana?” Tanyaku heran sambil mengikuti arah pergerakan Mar.

“Beres-beres aja, nyicil barang yang mau aku bawa ke kampung.”

“Ih, Mar, memangnya kamu mau kemana? Ikutan Teh Rania pulang kampung? Atau sudah dapat jodoh juga?.”

“Pulang, Nus.”

Lihat selengkapnya