Terasa amat berbeda setelah kepergian Rania. Biasanya Rania akan menjadi pencair suasana dikala keheningan menyusup ke dalam bilik-bilik kamar kami.
Hubungan kami memang sudah tidak baik. Tidak ada lagi perbincangan dalam setiap harinya di rumah singgah itu. Satu sama lain hanya diam terkadang tanpa sebab. Jika aku sebut secara kasar, mungkin hening bagai di kuburan. Bahkan, diantara kami pun rasanya enggan untuk membuka pembicaraan satu sama lain.
Masing-masing dari kami saling menyibukkan diri. Ada yang sibuk dengan tugas-tugasnya, ada yang asyik nonton drama korea, dan ada juga yang asik bermain handphone seolah-olah tak tahu. Terkadang aku berpikir, aku rindu masa-masa dimana kita saling bercanda dan tertawa bersama. Biasanya pun tiap hari minggu atau hari dimana kami tidak ada kuliah, kita selalu ikut-ikutan Rania nonton acara drama korea. Sampai kami semua ketularan suka dengan acara drama korea. Walaupun awalnya aku sudah ketularan Ica dan Rini lebih dulu.
Mar dan Ida lebih banyak diam jika di dalam kamar, aku pun demikian. Aku tak bisa memihak kepada salah satu dari mereka karena mereka tetap temanku. Aku pun tidak tahu caranya membuat mereka dekat, meskipun ini bukan permusuhan, namun ini lebih ke sifat yang saling tidak menyukai. Ah! Rasanya masalah seperti itu sulit untuk dileburkan.
Menjelang tahun ketiga aku tinggal di rumah singgah, belum ada mahasiswa baru yang aku kenal. Mar pun lebih sering pulang ke kampung ketimbang diam di rumah singgah. Bahkan hal itu diperbolehkan oleh Bunda, bolak-balik ke kampung halaman dan ke Bandung jika akan bimbingan, selepas bimbingan Mar baru akan menginap di rumah Bunda.
“Mar,” aku panggil Mar saat itu.
“Apa?”
“Kamu seyakin ini mau pulang cepet? Temani aku dulu Mar,” pintaku padanya. Mar memang sedikit berbeda dari Mar yang aku kenal sebelumnya. Semenjak Rania pergi, Mar terkadang lebih sering menghabiskan waktu di kampus. Baringan di kamar sambil telponan atau chat-an sama seseorang yang entah siapa. Mar pun tidak pernah terbuka padaku kini. Rasanya persahabatanku juga dengannya perlahan lebur.
***
Pada hari ulang tahunku. Tidak ada ucapan khusus selain dari Ibu, Ayah dan Adnan. Bahkan tak ada perayaan khusus layaknya seseorang yang bahagia atas bertambahnya usia. Bahkan tidak ada hadiah yang aku terima. Kalau di rumah pasti Ibu sudah menyajikan nasi kuning untuk kita makan bertiga. Biasanya kalau aku ulang tahun Ibu hanya bisa menyiapkan itu. Nasi kuningnya dihias seadanya pakai telur tahu dan tempe. Ah, pokoknya sederhana banget tapi rasanya nikmat. Namun ada yang berbeda dengan hari ulang tahunku tahun ini, aku menambahkan daftar orang yang aku sayangi sebagai orang yang ingat hari ulang tahunku.
Ucapan dari Adnan tepat jam 12 malam, kala itu aku pun sudah tertidur dan tak menyadari ada pesan dari dia. Kalau Ibu dan Ayah biasanya akan mengucapkan selamat ulang tahun seusai shalat subuh. Ayah akan bernyanyi lagu selamat ulang tahun dan Ibu membawakan nasi kuning di nampan yang tentunya sudah dihias. Tapi tanpa lilin, kata Ibu takut kena nasi, aku hanya tertawa saja melihat aksi mereka.
“Mana kadonya, Yah?” Aku memang selalu menagih kado pada Ayah.
“Ada,” jawab Ayah tangkas. Aku pun kegirangan dibuatnya.
“Yey,” kataku.
‘Taram...,” Ayah mengeluarkan satu buah kado yang dibungkus pakai kertas kado. Kado itu bentuknya kotak persegi panjang. Aku kegirangan dan aku sangka itu adalah handphone. Karena sebelum kuliah aku memang tidak punya handphone. Meskipun tidak setiap ulang tahun Ayah membelikan aku kado. Tapi, aku suka menagih kao ke Ayah, tapi seringnya dibayar ngutang, ha ha ha.
“Buka, dong,” kata Ibu.
Aku pun membuka kado itu dan aku terkejut melihat isinya. Namun aku tidak kecewa, aku malah tertawa mendapat hadiah sebuah kalkulator bentuknya seperti handphone.
“Ini kalkulator?” Tanyaku pada Ayah seraya melihatnya.
Ayah mengangguk.
“Ha ha ha. Kenapa Ayah beliin aku kalkulator?”
“Ya biar anak Ayah jadi orang pinter. Ngitung itu kan harus pakai kalkulator.”