Beberapa bulan setelah kepergian Mar. Aku pun mulai bersiap untuk program magang yang diadakan oleh kampus. Sebelum aku berangkat ke Jakarta untuk magang, aku dan Bunda masih bertegur sapa seperti biasanya. Bahkan sebelum melepas kepergianku, Bunda asyik ngobrol bercerita ini itu denganku. Entah mulai darimana aku menjadi dekat dengan Bunda semenjak kepergian Mar. Waktu itu mata jadwal kuliahku sudah mulai berkurang, jadi aku lebih banyak di rumah sambil baca referensi buku untuk cari judul skripsi.
Layaknya seorang teman, kupikir Bunda adalah sosok Ibu kedua bagiku. Bahkan Bunda menceritakan tentang perjalanan cintanya dengan suaminya yang telah tiada. Sangat seru, aku senang mendengarnya, aku senang mendengar kisah hidup orang lain yang ingin bercerita denganku.
Kami tidur satu kasur sambil saling bercakap datar dan berkomentar. Tertawa bersama sambil menatap langit-langit. Kebetulan waktu itu hanya ada aku di kamar, Ida sudah biasa pulang malam. Bunda lebih sering berkunjung ke kamarku ketimbang kamar yang lain, yang penghuninya mulai surut. Mendekati program magang, aku lebih banyak waktu di rumah untuk mempersiapkan segala hal yang harus aku persiapkan. Dari mulai tenaga, pikiran dan tentunya dengan uang.
“Ada uang?” Tanya Bunda tiba-tiba setelah di antara kami sudah tidak ada cerita yang tersisa.
“Ada, Bun,” langsung kujawab.
“Dari mana?”
“Dari hasil panen Ibu. Ibu jual beberapa karung, kemarin sudah dikirimkan untuk biaya saya di Jakarta.”
“Kenapa dijual?”
Aku tak menjawab, hanya tersenyum tipis waktu itu.
“Bukannya Ibu gak punya sawah?”
“Kerja di orang, Bun.”
“Oh, kerja dibayar pakai padi?”
Aku tersenyum kembali dengan pertanyaan Bunda. Bahkan Bunda menawarkan uang padaku untuk bekal di Jakarta, namun aku menolak. Aku tidak mau pergi ke Jakarta dengan beban. Lebih baik pakai uang Ibu agar aku tak kepikiran, ketimbang uang orang lain. Uang setiap bulan yang Bunda berikan pun membuat aku cukup terbebani selama ini, jadi aku tidak mau memikul hal itu terlalu banyak.
***
Sebenarnya tak banyak hal yang ingin aku ceritakan tentang masa magang di Jakarta. Yang jelas aku mendapat pelajaran dan ilmu yang berharga disana. Bolak balik setiap hari dari Jakarta ke Cikarang dengan naik taksi. Bangun pagi, berangkat jam 5 subuh karena takut terkena macet. Pulang larut malam, jika ada deadline yang harus aku kerjakan. Seperti itu kira-kira gambarannya. Aku disana ngekos, berdua bersama teman dari kelas lain. Aku tidak satu kosan dengan Ica atau Rini karena merekaa magang di tempat yang berbeda.
Memang bukan kali pertama aku menginjakkan kaki di Jakarta. sebelumnya aku pernah bekerja di Jakarta bersama Sari. Namun, kabar setahun yang lalu Sari pun sudah tidak kerja di Jakarta. Dia lebih memilih berjualan mie ayam di depan rumahnya yang kini dinamai Kedai Mie Ayam Teh Sari. Jika pulang ke kampung, aku selalu mampir ke tempatnya.
Selama kurang lebih empat bulan lamanya aku menjalani program magang di Jakarta. Waktu itu aku pulang bersama teman-teman satu angkatan. Kami ramai-ramai pulang menggunakan travel menuju Bandung. Aku pulang ke kampung halaman terlebih dahulu. Aku ingin melepas rindu pada Ayah dan Ibuku. Ayah begitu senang ketika aku datang. Dia langsung merangkul aku dengan erat sambil berkata, “anak gadis Ayah sudah pulang.”
Aku letakkan beberapa bingkisan berisi kue, rasanya bahagia sekali aku bisa membelikan sesuatu untuk mereka dari hasil kerjaku. Walaupun baru dari hasil magang. Karena selama magang aku mendapat gaji yang cukup untuk biaya hidup disana, lebihnya aku tabung atau kukirim ke kampung halaman.
“Sudah berapa karung uang yang kamu bawa sampai bisa beliin kue?” Tanya Ayah. Ayah memang suka bergurau, katanya sebelum bekerja jangan beliin sesuatu, beli saja keperluan kuliah.