DONGENG-DONGENG MASA LALU

Nyarita
Chapter #22

AWAL MULA PERJODOHAN

Tidak ada yang tahu dengan rencana Tuhan. Memang hanya Tuhan yang mampu membolak balikkan hati seseorang. Namun, siapa sangka hati itu bisa berubah-ubah, yang kemarin terlihat baik, besok belum tentu begitu. 

Kali ini aku hampir sampai di puncak. Mencari kerja tak perlu lagi dengan ijazah SMA. Akan aku bius semua ketidakmungkinan yang ditebar oleh orang-orang sekampung ke kuping Ayah dan Ibu. Mereka kadang masih tak percaya bahwa anak pemimpi bisa kuliah, he he he.

Aku tidak memiliki tujuan lain selain rumah Bunda. Seandainya jarak antara kampus dan rumah itu dekat, maka aku akan mengerjakan skripsi di rumah saja, ya paling bimbingan seminggu sekali. Tapi aku pikir, itu akan memakan waktu dan takutnya ada perubahan jadwal pembimbing. Tidak hanya memakan waktu, hal itu juga akan memakan uang yang tidak sedikit. Lagian aku tidak mau merepotkan Ayah yang harus banting tulang cari uang untuk ongkos aku ke kampus. 

Tak banyak waktu yang kubuang, tak apa aku disebut terlalu rajin baru beres magang sudah mikirin skripsi. Aku hanya ingin cepat lulus, itu tujuan utamaku kala itu. Di kamar itu, ya bersama dengan mereka, Ida dan Nunung, kami saling bermain dengan kesibukan masing-masing. Ida pun demikian, Ida terkadang bertanya padaku tentang judul yang harus diambil selepas dari hasil magang. Dan aku jawab sebisaku. Aku sudah mempersiapkan judul yang akan aku bahas dari jauh-jauh hari. Setiap malam tanganku bermain di depan laptop, besok aku akan bimbingan dengan Pak Rudi. Beruntung aku mendapat Dosen Pembimbing seperti Pak Rudi, Dosen yang sangat ahli di bidangnya.

Aku kembali ke rutinitas awal. Sarapan sebelum berangkat dan kuajak Nunung sarapan bareng agar dia terbiasa, meskipun jadi Mahasiswa awal semester banyak nganggurnya, itu yang aku rasakan dulu.

Setelah sarapan aku pamitan sama Bunda yang masih sama dengan kegiatannya, baca koran di pagi hari, menjelang tengah hari pindah ke kamar nonton televisi dan siangnya kadang ikut pengajian di mesjid komplek. Ternyata hal itu pun masih sama Bunda lakukan. Kutengok ada beberapa wajah baru di kamar yang lain. Mungkin seangkatan dengan Nunung. 

Seperti biasa, setelah rutinitas selesai, aku pamit pada Bunda yang sedang duduk sambil memegang koran pagi hari. 

“Hah? Terus saja naik harga BBM,” Bunda berteriak sendiri, memang seperti itu, dan hal itu tidak aneh. Berceloteh sendiri ketika menemukan hal yang menarik untuk dibaca. Aku hanya mendengar sekilas dan tersenyum sebisaku di hadapannya.

“Saya pamit, Bun.” Aku meraih tangannya yang sebenarnya sedang fokus memegang koran yang  aku juga tak tahu berita apa yang Bunda baca. Raut wajahnya tetap datar seperti biasanya, tak bisa aku baca ekspresinya. 

“Iya.” 

Aku melangkah menjauh dari keberadaannya.

“Sekali-kali pakai make up kalo ke kampus itu,” tiba-tiba saja langkahku berhenti dan berpaling ke arah Bunda. Tidak ada orang lain di ruangan itu kecuali aku dan Bunda. Aku pastikan, perkataan itu diutarakan untukku. Hati pun bertanya-tanya kenapa Bunda tiba-tiba membahas hal begitu.

Lihat selengkapnya