Di pagi hari, aku dipanggil oleh Bunda. "Nus!" Teriak Bunda dari lantai satu. Aku waktu itu sedang siap-siap mau ke kampus. Bergaya di kaca sambil lenggak lenggok dan mencoba make-up yang aku beli kemarin. Aku turun lalu kutemukan Bunda bersama Ida. Tangan dan kakiku sedikit gemetar, rasanya tak bertumpu ke lantai. Jantungku rasanya mau copot. Dag dig dug tak karuan. Tak biasanya Bunda memanggilku dengan pendamping seperti ini. Aku mendekat sambil memikirkan kesalahan apa yang hendak aku buat.
"Iya, Bun."
"Duduk," lalu aku duduk.
"Ida, tolong dandani Nusa," pinta Bunda pada Ida dengan sejumlah make-up di depannya.
Ida pun tak berkata apapun, dia hanya melirik ke arahku dan langsung melaksanakan perintah Bunda. Ida tak membuka mulutnya sepanjang aku mengharapkan penjelasan tentang semua ini.
Aku tak berkomentar, aku biarkan Ida mendandaniku. Kemudian setelah itu, Bunda bilang, "foto Nusa." Bunda saat itu hanya diam sambil melihatku didandani Ida.
Aku langsung kaget dan semakin bertanya-tanya dalam hati. Apa maksud Bunda ini, aku pun menahan pertanyaan itu dan kemudian Ida mengambil fotoku lalu dikirim ke Bunda. Kuberanikan diri bertanya, pada Bunda setelah selesai.
"Bun maaf sebenarnya ini itu untuk apa?" Tanya aku pada Bunda.
"Buat dikirim ke murid Bunda,"
"Murid?"
"Iya, jadi Bunda itu punya murid, sekarang dia sudah sukses. Sudah jadi Manajer di perusahaan besar di Jakarta. Sudah punya rumah. Sudah punya mobil, dan adiknya pun sudah pada besar dan sukses. Dia lagi cari calon istri."
Aku diam sejenak mencerna setiap perkataan Bunda. lalu Bunda pergi membawa fotoku. Aku pun bisa membaca bahwa kali ini adalah giliranku untuk dijodohkan dengan seseorang oleh Bunda. Setelah Bunda pergi, aku berbicara empat mata dengan Ida. Aku ingin menguras habis rasa penasaranku. Kugiring dia ke kamar yang menurutku lebih aman untuk berbicara berdua dengan Ida disana. Aku menghela nafas kemudian berbalik pada Ida yang berdiri di belakangku dengan perasaan bersalah.
"Apa ini maksudnya, Da. Kamu pasti tau, kan?" Aku mendesak Ida.
"Iya, Nus."
"Apa maksud Bunda bilang gitu tadi?" Aku memandangi Ida. Karena aku yakin Ida tahu semua rencana Bunda, secara dia sangat dekat dengan Bunda setelah kepergian Mar.
"Bibi mau jodohin kamu, Nus."
"Hah? Kamu gak bercanda, kan?" Aku sangat kaget, kekhawatiran aku selama ini akhirnya terjadi juga.
"Nggak, kenapa aku harus bercanda? Apa muka aku keliatan lagi becanda?"
"Ini gila! Terus Adnan gimana, Da?" Aku menggunjing tubuh Ida sambil menangis. Tak kuasa aku menahan tangis saat itu.
"Aku tau Nus."
"Lalu?"
"Aku gak tau harus apa, kamu tau Bibi kan orangnya kayak gimana."
"Aku harus bilang apa sama dia, Da? Aku gak mau dijodohin sama laki-laki yang aku sendiri belum tau orangnya?"
"Katanya laki-laki itu sudah sukses, sudah jadi Manajer, Bibi ingin kamu hidup layak."