DONGENG-DONGENG MASA LALU

Nyarita
Chapter #24

MENOLAK PERJODOHAN

Semenjak hari itu, aku menjadi tak nyenyak tidur. Makan pun tak berselera. Rasanya sudah tidak ada semangat. Aku lebih sering melamun. Aku tak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika aku menikah. Cita-citaku masih banyak, perjalananku masih panjang untuk menggapai cita-cita itu.

Aku tak menceritakan masalahku kepada Ayah dan Ibu. Aku bersembunyi dibalik kebahagiaan yang selalu aku antarkan pada mereka. Ayah pun sedang sakit, tidak mungkin aku menambah beban pikirannya. Bahkan aku tidak pernah membayangkan amarah dan luka yang Ayah tuai jika melihat anaknya berada di ambang kesedihan.

Di kamar hanya ada aku dan Ida waktu itu. Nunung sudah berangkat kuliah. Aku sudah bicara pada Ida dan meminta pendapatnya. Aku mengumpulkan keberanian dahulu sebelum aku melangkah ke kamar Bunda yang ada di lantai satu. Keadaan rumah singgah memang mulai sepi, aku dan Ida adalah Mahasiswa semester akhir yang masih bebas ke kampus dan hanya sesekali ke kampus karena ada bimbingan. 

“Nus, yakin?” Ida hanya mencoba menahanku untuk tidak melakukan hal-hal yang akan membuat Bunda marah.

“Yakin,” kataku.

“Kenapa gak pake saranku aja, sih, Nus?”

“Kamu pikir Adnan akan menerima? Lagipula aku tidak suka bersandiwara. Yang ada nanti aku menyakiti keduanya, Da.”

“Aku gak bisa bayangin, takutnya Bibi marah. Perasaan aku gak enak,” katanya begitu.

“Apalagi aku, Da. Semakin aku tahan, nanti masalahnya semakin besar. Mumpung foto itu belum sampai ke tangan laki-laki itu.”

“Harusnya Adnan sih yang kesini, bilang ke Bibi bahwa dia itu pacar kamu dan siap nikahin kamu.”

“Apa kata Bunda nanti, dia belum punya apa-apa, bagi Bunda syarat untuk bisa melamar ya harus sukses.”

Ida diam, meskipun aku tahu bahwa Ida tidak menyetujui hal yang aku lakukan. Dia lebih setuju aku bersandiwara dan setelah itu menolaknya karena alasan tidak cocok. Tapi, menurutku, tidak semua rencana itu berjalan sesuai yang kita inginkan, aku hanya ingin berkata jujur kali ini.

Aku pun tidak menceritakan hubunganku dengan Adnan saat ini pada Ida. Aku pun tidak bisa sepenuhnya menyalahkan Adnan. Mungkin dia butuh waktu untuk berpikir, kuberikan waktu Adnan untuk berpikir secara dewasa bila dia mencintaiku. Namun di samping itu, aku akan tetap memperjuangkan cintaku untuk Adnan. 

“Bismillah,” aku langsung keluar kamar dan menyusuri anak tangga. Aku beberapa kali menghela nafas dan mencoba tetap tenang. Aku mengetuk pintu beberapa kali namun belum ada jawaban. Dan perlu kalian ingat, pada saat itu hubungan aku dan Bunda masih baik-baik saja. Aku masih bertegur sapa, bahkan Bunda masih tersenyum padaku setiap kali aku membantunya di dapur atau di setiap kesempatan Bunda membutuhkan tenagaku. 

Bunda membuka pintu ternyata Bunda baru saja selesai menunaikan shalat Dhuha, “Oh, Nusa, ada apa?”

“Boleh saya bicara sebentar, Bun?” Pintaku.

Lihat selengkapnya