Tidak pernah terpikirkan sedikitpun dalam diriku untuk berkhianat atau melupakan rasa terima kasih pada siapapun. Aku hanya bertindak sesuai yang menurutku benar. Aku pun hanya menyuarakan hal yang aku rasakan, apakah itu salah? Memilih pasangan sesuai apa yang kita inginkan bukankah itu adalah hak pribadi?. Rasanya masalah kecil pun bisa menjadi rumit begini. Aku tak pernah menyangka bahwa masalah ini akan semakin rumit.
Dalam hidup, baru kali ini aku merasa dibenci oleh seseorang. Aku kira, semua orang di dunia ini baik dan hampir aku tak pernah melihat orang jahat apalagi di lingkungan sekitarku. Ternyata kita tak bisa menaruh harapan pada seseorang atau menganggap seseorang sebagai Malaikat Kecil yang dikirim Tuhan. Kukira awalnya begitu, memang sosok itu pasti ada di muka bumi ini. Kumasukkan daftar Malaikat Kecil yang selalu aku tulis di buku harianku. Aku mencatat orang-orang itu sebagai penyemangat dan aku pun harus menjadi orang-orang seperti mereka.
Perubahan Bunda dalam setiap harinya begitu terasa setelah kejadian itu. Walaupun hal-hal kecil, namun jika hal itu tidak biasa dilakukan, maka di depan mata kita akan terasa asing.
Waktu itu pagi-pagi seperti biasa aku dan sederet penghuni rumah itu pergi membereskan rumah. Hari ini aku mendapat giliran membantu Bunda memasak di dapur, aku juga mengajak Nunung biar ada teman saja. Mungkin diantara yang lain, Nunung adalah orang yang masih berkawan baik denganku karena Nunung tidak tahu asal muasal masalahku. Lagi, Nunung adalah anak baru, aku pun tak mungkin meluapkan isi hatiku padanya.
Bunda seperti biasa mondar mandir sambil mengeluarkan isi kulkas berupa beberapa sayuran yang akan dimasak hari ini.
“Masak apa, Bun?” Tanyaku pada Bunda yang lagi mondar mandir menyiapkan ini itu untuk dimasak.
“Capcay.”
“Berarti sayurnya dipotong miring kan ya, Bun.”
“Ya, iya, atuh, masa gitu aja masih nanya,” begitu katanya, tak biasanya Bunda menjawab begitu pada anak-anak yang ada disana. Biasanya pun Bunda akan menjawab dengan lembut meskipun dari kami tidak lihai dalam memasak atau memotong sayuran.
“Oh.” Aku pun tak banyak bertanya lagi. Nunung pun hanya melihatku dan membantuku memotong sayuran.
Tidak ada percakapan lagi. Karena aku cukup terkejut dengan reaksi Bunda tadi. Aku diam dan tak berbicara apapun baik dengan Bunda atau dengan Nunung. Hal itu jelas membuat semangat aku turun dan bertanya-tanya.
Setelah semua beres dipotong aku dan Nunung kembali ke kamar. Kulihat Ida masih tertidur, dan tak mungkin aku ceritakan hal yang menurutku sepele pada Ida. Akhirnya aku mencoba menerima dan melupakan ucapan Bunda tadi.
Hari ini aku ada jadwal bimbingan dan seperti biasa akan mampir ke kosan Ica atau Rini untuk ngerjain skripsi dan membantu mereka. Namun, belum diputuskan, kosan Ica atau Rini yang akan kami buru untuk bersantai sambil belajar.