Semenjak sifat Bunda berubah padaku, aku seperti merasa sendiri di rumah singgah itu. Tertawa pun rasanya tak berselera. Berbicara pun demikian. Aku mendengarkan musik dengan volume sedang. Ku tekuk lutut sambil bersembunyi di balik kasur yang tak beralas itu. Biasanya Mar yang akan menjadi obat untuk hatiku yang sedang sedih dikala begini. Andai saja Mar berada di sini, tapi Mar sudah pergi duluan. Namun bukan itu saja alasan Mar untuk pulang kampung, Mar lebih memilih mengadu nasib di kampung ketimbang di kota, katanya. Tentu saja akan lebih mudah untuk Mar, karena Ayah Mar punya banyak kolega untuk memasukkan Mar kapan saja dia mau. Lagi, siapa yang tak ingin mempekerjakan Mar yang punya otak cerdas.
Bukan bermusuhan, tapi kami yang berada di rumah singgah hanya enggan untuk saling berkomentar. Setiap suara adzan berkumandang, kami langsung melepas kegiatan masing-masing dan langsung menggelar sajadah. Denyut jantung bergetar hebat, setiap kali aku mendengar adzan aku terasa takut. Bukan aku takut karena kerasukan jin, namun aku takut berhadapan dengan Bunda. Karena pada saat itu, aku akan dihadapkan dengan wajahnya yang seperti enggan melihat wajahku. Rasanya, berbicara denganku saja tak sudi.
Aku sengaja selalu terakhir wudhu karena di mushola pasti Bunda sudah menunggu. Aku tak ingin terlihat canggung akan hal itu.
Seperti biasa, selesai shalat semua berjejer untuk bersalaman sebelum akhirnya masuk ke kamar masing-masing. Bunda selalu menepis tanganku bahkan semenjak kejadian itu belum pernah lagi aku mencium tangan Bunda. Ya Tuhan, rasanya aku ingin hengkang saja dari sana. Tentu semua sudah aku rencanakan, namun aku menunggu waktu yang tepat dan menunggu hari kelulusan. Waktu itu pikiranku sangat buntu. Tak ada yang bisa aku lakukan kecuali meminta maaf pada Bunda.
“Da, kenapa Bunda semakin kesini semakin berubah?”
“Perasaan kamu mungkin, Nus.”
Ya, hanya itu yang selalu Ida katakan padaku. Sekeras apapun aku bercerita padanya, Ida akan tetap membela Bunda dan aku tetap di posisi yang salah.
“Aku kira tidak. Bunda hanya begitu padaku.”
“Kalian tahu dosa bagi orang yang suka boncengan dengan laki-laki yang bukan muhrim? Dosanya ngantai!” Teriak Bunda waktu itu, terdengar di telingaku bagaimana Bunda bersuara sambil berjalan dengan mata melirik ke arahku.
Semua yang ada disana melihat ke arahku, tentu aku langsung menafsirkan bahwa kata-kata itu dilontarkan untukku. Siapa lagi? Bahkan aku merasa sendiri saat seperti ini. Entah dasar apa Bunda mengatakan seperti itu. Apa Bunda tahu bahwa aku sering diantar jemput oleh Adnan? Tidak bisakah Bunda membuka hatinya dan melihat keadaanku atau setidaknya melihat diriku yang akan sakit jika diperlakukan seperti itu.
Masa-masa aku kuliah adalah masa yang menyedihkan bagiku. Bahkan aku tak bisa meraih mimpiku dengan kondisi dan hati begini. Dimusuhi oleh Bunda terasa dimusuhi oleh seisi dunia. Semenjak kejadian itu pun, mata ini terlalu payah untuk mengeluarkan air mata. Aku selalu bingung dan meminta perlindungan pada siapa waktu itu, bagiku dunia terasa gelap bahkan melangkah saja aku tak kuasa. Tak bisakah Bunda waktu itu melihatku, bahwa setiap perkataannya mematahkan mentalku.
“Tadi aku melihat Bunda mengintaimu dari belakang. Dia jalan mengendap-ngendap tanpa kamu sadari,” bisik Ida padaku.
“Hah?” Betapa terkejutnya aku saat itu. Sebegitunya Bunda mencari-cari kesalahanku. Padahal waktu itu bukan Adnan yang mengantarku, melainkan ojek online, waktu itu ojek online baru musim dan aku menggunakan layanan itu untuk pergi ke kampus karena ada hal yang mendesak. Lagipula, aku dan Adnan pun hubungannya sedang tidak baik-baik saja. Untuk beberapa waktu aku berangkat sendiri ke kampus, dan aku tidak sadar bahwa Bunda mengikutiku.
“Kamu tidak bilang bahwa itu ojek?” Tanyaku.