Waktu itu aku sedang pulang kampung. Aku ingin berkunjung ke rumah Mar dan mencurahkan segala isi hatiku padanya. Lagi pula aku dan Mar sudah lama tak bertegur sapa. Sekedar chat juga sudah terbilang jarang karena aku terlalu fokus dengan masalah-masalahku. Niatku waktu itu beradu kesedihan pada Mar. Aku juga tidak tahu, hanya Mar yang selalu menjadi obat kedua bagiku setelah Ayah dan Ibu. Rumahku dan rumah Mar tidak begitu jauh dan tidak begitu dekat. Mar tinggal di Desa sebelah. Waktu tempuh ke rumahnya hanya butuh sekitar 30 menitan kalau jalan kaki. Waktu itu ketika matahari mencapai puncak ubun-ubun, ketika keringat memandikan tubuhku, dengan rasa lelah menyusuri jalan dengan kedua kaki ini untuk sampai ke rumah Mar. Kadang kala keringat yang telah menepi di dahi, segera aku basuh dengan tangan. Hanya Mar yang mampu meredakan amarah Bunda, pikirku kala itu. Yang aku tahu, Bunda akan lebih mendengarkan Mar daripada aku yang dianggapnya kecut. Apalah arti diriku, hanyalah pecundang!.
Aku menemui Mar yang sedang duduk lesehan di teras rumahnya. Terlihat jelas oleh mataku, Mar sedang membaca buku disana.
“Mar,” aku langsung memanggil Mar setibanya disana.
“Nusa,” jawab Mar dan segera dia berdiri lalu menghampiriku. Aku tebak waktu itu, Mar sangatlah rindu padaku seperti aku merindukan dirinya. Pelukan Mar begitu lekat dan hangat aku rasakan di tubuhku. Senyuman bahagia terpancar di wajah Mar, aku pun terlena olehnya.
“Apa kabar Mar?”
“Kabar baik, kamu sendiri apa kabar?” Mar pun mengutarakan pertanyaan itu yang sebelumnya sudah aku pertanyakan padanya.
“Aku baik juga Mar, sudah lama kita tak bertemu, nungguin jodohmu, ya?” Guraunya pada waktu itu. Mar pun tertawa kecil sambil menyuruhku masuk ke dalam rumahnya. Mar menggiringku ke kamarnya. Ya, di dalam Kamar yang penuh dengan kenangan-kenangan kami sewaktu masih bersahabat. Sementara itu Mar pergi ke dapur dan mengambilkan satu gelas air putih untukku. Kutengok foto-foto kami yang tersimpan rapi di meja nakas Mar. Sambil tersenyum dan mengingat kejadian pada hari itu.
“Diminum dulu, Nus,” Mar memberiku satu gelas air putih. Rasanya nikmat sekali ketika air itu tiba di tenggorokanku. Rasa kering yang tersimpan sedari tadi, kini menjadi lembab dan sejuk.
Tubuh ini sedikit gemetar ketika aku akan memulai percakapan yang entah aku harus mulai dari mana. Aku mengumpulkan segala keberanianku dan kutatap wajah Mar yang sedang menatapku juga.
“Sebenarnya apa yang terjadi, Nus?” Mar pun membuka pembicaraannya setelah aku merasa reda. Aku pun lekas menaruh gelas yang sudah kosong itu ke meja yang tak jauh keberadaannya dengan tempat tidur Mar, tempat aku duduk saat itu.
“Aku sedang bingung, Mar. Bunda sedang marah padaku,” keluhku, seketika aku pun menundukkan kepala dengan perasaan sedih.