Aku dan Adnan memutuskan untuk tidak saling bicara semenjak pertemuanku dengannya yang menceritakan bahwa aku akan dijodohkan. Semenjak pembicaraanku di Balai Kota bersamanya, aku tak lagi memberi kabar pada Adnan. Meskipun puluhan chat menyatakan permintaan maaf padaku, namun rasanya bagiku ini percuma saja. Menurutku, keputusan Adnan dan kata-katanya salah dan membuat pikiranku semakin buntu.
Menurutku Adnan terlalu mudah menyerah dalam menghadapi masalah. Dia hanya mencoba lari dari kenyataan pahit. Aku menghadapi kenyataan itu sendirian dan menahan perih yang sulit terobati. Disaat aku butuh hiburan dan penyemangat, namun Adnan menyerah begitu saja sebelum kita mulai berjuang sama-sama. Dan Aku merasa tak memiliki kekuatan saat itu. Langkah tak terasa bertumpu pada tanah. Pikiran terasa kosong tak memiliki arah.
Banyak yang berubah di masa-masa menjelang semester akhir. Duniaku yang mulai kelam dengan kesedihan dan orang-orang di sekitarku menjauh dariku. Menjelang semester akhir aku hanya ingin fokus dan mengerjakan skripsi dan menanti wisuda.
Tidak hanya dengan Adnan, dengan Ida pun aku tak begitu banyak bicara waktu itu. Aku menjaga jarak dengan Ida, meskipun aku tidak tahu apakah benar Ida yang memberikan semua informasi tentang Adnan, termasuk hubunganku dengannya. Tapi, jika bukan Ida siapa lagi? Hanya Ida yang tahu hubunganku dengan Adnan. Bahkan latar belakang Adnan, hanya Ida yang tahu, berulang kali aku mengingat, tidak pernah aku mengatakan tentang Adnan pada Bunda. Dan dari situ aku mulai kecewa dengan Ida. Aku tidak menanyakan hal itu kepada Ida, karena aku takut akan semakin rumit dan hubunganku dengan Ida akan semakin buruk sama halnya hubunganku dengan Bunda.
Aku hanya tak banyak bicara, kujawab seperlunya jika Ida bertanya, jika Ida menanyakan hal tentang skripsi pun aku jawab seperlunya dan aku tidak memperpanjang obrolanku. Mungkin, hal yang paling sungkan untuk diucapkan adalah meminta maaf atau menanyakan ada apa dengan sikap kita yang berubah, namun hal itu tidak pernah terjadi. Bahkan perubahan itu kami konsumsi seperti hal yang biasa-biasa saja. Begitulah yang aku rasakan selama tinggal di rumah singgah. Aku sedikit kecewa, namun aku pun cukup menyadari posisiku disini.
Kini di kamar tidak seceria dulu. Bahkan aku juga tak tahu harus mengajarkan apa pada Nunung sebagai murid baru, padahal aku sendiri pun sedang tidak baik-baik saja. Memang terasa canggung bersikap tidak seperti biasanya. Namun, hati tetap memutuskan begini.
***
Sebisa mungkin untuk melupakan masalah, aku akan menghabiskan waktu bersama Ica dan Rini di kampus atau di tempat kosan mereka sambil ngemil dan ngerjain skripsi bareng-bareng. Setiap hari bahkan aku hampir tak pernah absen untuk mampir ke kosan mereka bahkan di hari libur sekalipun.
Aku janjian sama Ica dan Rini di tempat nongkrong dekat kampus sambil memanfaatkan wifi gratis di sana. Aku datang lebih dulu dan memulai mengerjakan skripsi sambil menunggu mereka datang. Namun di sela-sela aku menunggu Adnan tiba-tiba datang dan langsung duduk di depanku.
“Nus, kita harus bicara,” dia menatapku begitu dalam. Aku tidak tahu kenapa Adnan bisa tiba-tiba hadir disaat aku sedang sendiri.
Aku hanya mendengus ketika melihatnya.
“Iya.”