“Yah,” panggilku saat itu.
Ayah menoleh dengan baju berwarna hijau daun. Baju itu adalah baju yang terakhir kali aku lihat ketika akan pergi ke Bandung dan Ayah sedih dengan kepergianku. Katanya, belum juga kerja, Ayah sudah sering ditinggal oleh putri kesayangannya.
“Ayah kok bisa jalan sekarang?”
Ayah tersenyum melihatku dan dia berjalan ke arahku, “Ayah sudah sembuh, Nak.”
“Oh, ya? Aku senang dengar Ayah sudah sembuh.”
Ayah tersenyum kembali. Tidak ada kecurigaan aku pada Ayah. Kami kemudian saling berpelukan dan Ayah pun pergi begitu saja. Aku terbangun dan ternyata itu adalah sebuah mimpi yang aku alami pagi ini. Kuraih handphone yang tergeletak di sampingku. Niat hati aku ingin menelepon Ibu, barangkali mimpi ini adalah sebuah pertanda bahwa Ayah telah sembuh. Namun sayangnya, handphone-ku tiba-tiba saja mati. Aku juga tidak tahu, tidak biasanya begini. Kupukul-pukul handphone-ku namun tetap tidak bisa menyala. Akhirnya aku menyerah dan aku berniat akan memperbaikinya selepas bimbingan dari kampus.
Sempat aku berpikir ingin meminjam handphone Ida, namun aku dan Ida komunikasinya tidak sebaik dulu. Entah siapa yang memulai, aku pun tidak tahu, yang jelas, aku hanya kecewa pada Ida yang tidak merasa bersalah padaku setelah segala kata-kata pahit Bunda melukai hatiku. Bahkan Ida tidak memberi aku semangat ketika aku sedang terpuruk. Aku kira, Ida adalah pengganti Mar, namun ternyata Mar tidak bisa digantikan oleh siapapun. Sedangkan Nunung, aku tidak mau melibatkan Nunung dalam masalahku dan aku putuskan untuk menunggu sampai handphone-ku di servis saja.
Hari ini aku pergi sendiri ke kampus. Adnan tidak menjemputku. Dia sedang pulang kampung katanya ada urusan keluarga.
Aku pun pergi pamit pada Bunda meskipun tetap dengan raut wajah dan perlakukan yang sama padaku. Ah! sebisa mungkin, sejentik pun aku tak akan terkecoh dengan hal apapun. Aku hampir sampai di garis akhir dan akan kubuat Ayah bangga.
Aku memeluk sejumlah buku dan beberapa lembar HVS yang berisi draft skripsi yang sudah aku print yang akan diajukan pada Pak Rudi. Aku pun mampir ke kosan Ica dan Rini, mereka juga sama ada jadwal bimbingan dan aku ajak saja mereka untuk berangkat bareng.
Di tengah perjalanan kami ngobrol ini itu sambil ketawa-ketawa. Rasanya kami sudah terbawa suasana yang nantinya tidak akan senikmat ini tertawa bareng. Bagiku, kampus adalah tempat dimana aku bisa tertawa lepas tanpa memikirkan beban. Aku bisa bebas bercerita dan bercanda bersama kawan-kawanku. Jiwaku merasa lebih terbuka dan kejadian yang aku alami pun seketika aku lupakan. Ica dan Rini adalah teman baikku. Mario dan teman-teman kelasku, mereka selalu menghiburku secara tidak langsung. Aku selalu dibuat tertawa oleh mereka meskipun mereka tidak tahu kehidupan menyedihkan apa yang sedang aku jalani.
Di kampus pun aku dan Ida jika bertemu kami hanya tersenyum satu sama lain. Terkadang Ida mengajakku bergurau tapi aku hanya tersenyum saja dengan gurauan Ida. Aku paham maksud Ida, dia tak ingin terlihat canggung di depan teman-temannya dan teman-temanku yang sudah mengetahui aku dan Ida satu rumah dan satu kamar.
Aku, Ica dan Rini berjalan menuju kampus lalu kami menuju lantai dua. Namun Ica dan Rini pergi ke lantai tiga karena Dosen pembimbingnya sedang mengajar disana.
“Nanti kita ketemu disana, ya,” kata Ica.