Malam harinya Adnan datang ke rumahku. Nafasnya tersengal, tampaknya dia berlari dari halaman uwa. Jalan menuju rumahku masih bebatuan, jadi motor seringkali terguling jika parkir di halaman rumah karena kondisi jalannya licin. Jika ada tamu jauh datang ke rumahku, mereka akan memikirkan motornya di halaman uwa, kakak dari Ibu.
Aku yakin Adnan berlari dari sana. Adnan datang menghampiriku dan Ibu. Dia memberikan bahunya untuk aku bersandar. Kemudian aku menangis lagi setelah itu. Tadinya, kukira air mataku sudah habis terkuras, namun nyatanya setelah Adnan tiba, air mata ini terjun kembali dan lebih deras dari sebelumnya.
"Sabar, maaf aku telat datang."
Aku hanya mengangguk saja dan tidak bisa berkata apapun.
"Turut berduka cita dari Bapak dan Mamaku."
Aku mengangguk kembali dan masih tak kuat untuk berkata.
Pada malam hari, di rumah kecil itu hanya ada kami bertiga. Suasana mulai terasa sepi dan menyedihkan. Malam itu Adnan bermalam di rumahku. Aku tak menyediakan apapun untuk Adnan karena aku dan Ibu tak bisa melakukan kegiatan apapun. Bahkan dari pagi kami rasanya tidak nafsu makan. Hanya ada beberapa kue dan buah pisang yang diberi tetangga, hanya itu yang aku suguhkan pada Adnan.
"Ibu itu wanita kuat," kata Adnan pada Ibu, sementara kami masih duduk bertiga di ruang tamu sambil melamun.
"Darimana kamu bisa tau bahwa Ibu kuat?"
"Dari wajah Ibu, dan buktinya Ibu tidak menangis," kata Adnan.
"Air mata Ibu sudah habis dari semenjak Ayah menghembuskan nafas terakhirnya. Hati Ibu sebenarnya masih tidak percaya bahwa Ayah akan pergi sebelum Ibu."
“Bu!” Kataku.
Bagaimana bisa Ibu berbicara seperti itu. Jika keduanya tak ada, aku hidup dengan siapa? Tak punya orang tua rasanya mungkin akan terasa tak punya siapapun di dunia ini.
Keesokan harinya Adnan pulang karena harus mengurus sesuatu di Bandung. Lagi, dia tidak membawa perlengkapan dan baju ganti untuk menetap di rumahku dan belum lagi omongan orang-orang yang akan terasa tak enak jika ada laki-laki menginap di rumahku.
“Nanti kita ketemu lagi di Bandung, jangan lupa kasih kabar,” begitu kata Adnan. Kulihat Adnan melajukan motornya dan semakin menjauh dari pandangan mata. Setelah kepergian Adnan, tinggal aku dan Ibu yang tinggal di rumah. Suasana semakin sepi, bahkan aku dan Ibu saling mengurung diri dan mengenang semasa Ayah masih ada.
***
Jiwa Ibu masih terluka. Dalam beberapa hari setelah kepergian Ayah, Ibu masih saja mengeluarkan air mata. Rasanya sepi tanpa Ayah. Bahkan aku tak pernah membayangkan bahwa Ayah akan pergi. Ayah yang selalu menjadi pencair suasana di keluarga ini.
Aku berusaha meneguhkan hati Ibu. Meskipun aku sendiri butuh seseorang yang meneguhkanku. Kini hanya tinggal kami berdua disini. Bahkan aroma Ayah pun masih tercium jelas di hidung kami. Suara samar bahkan bayangan masih saja terus terbawa oleh kami.