Setelah kepergian Ayah, aku cenderung bingung, langkah apa yang selanjutnya harus aku ambil. Bahkan kekuatan dalam diri ini terasa hilang. Aku tidak memiliki energi untuk bermimpi lagi. Bahkan semenjak kedatangan Bunda ke rumah aku merasa sudah tidak pantas untuk kembali ke rumah singgah itu. Perlakukan Bunda padaku yang terasa menyakitkan diriku, membuat aku ingin segera pergi dari sana namun aku tidak tahu caranya.
Ayah baru saja pergi meninggalkan aku dan Ibu untuk selamanya. Dan aku belum punya pekerjaan untuk pergi dari rumah singgah itu. Bagaimana bisa aku sekarang menanggungkan beban pada Ibu, sedangkan ekonomi kita semakin terhimpit.
Setiap hari aku melarung sepi di balik jendela kamar sambil menatap segala hal yang ada di depan mataku. Angin yang bertiup menyusup ke ulu hati hingga membuat aku semakin kehilangan. Terkadang aku hanya bisa mengingat segala hal yang Ayah ajarkan padaku dari kecil sampai aku sebesar ini.
Sudah satu minggu aku hanya mengurung diri di dalam kamar. Beberapa ucapan turut berduka cita pun masih berdatangan waktu itu meskipun sudah satu minggu kepergian Ayah.
Ibu tiba-tiba masuk ke dalam kamar, tak biasanya tanpa permisi atau mengetuk pintu, Ibu masuk begitu saja dan membuat lamunanku buyar.
“Ibu.”
Aku langsung menatap Ibu yang berjalan ke arahku dan kemudian duduk di sampingku.
“Lagi apa, Nus?”
“Biasa, Bu.”
“Ngelamun?”
Kulihat Ibu memang kuat, benar kata Adnan. Nyatanya Ibu sudah terlihat lebih baik dariku yang masih saja suka ngelamun.
“Sudah satu minggu,” ucap Ibu tiba-tiba.
Aku hanya mengangguk saja.
“Apa yang kamu lihat di balik jendela itu?” Kali ini Ibu menatap jendela kamarku dan aku pun mengikuti arah mata Ibu.
“Daun-daun kering dan orang-orang sedang jalan-jalan,” kataku.
“Mending jadi yang mana?”
“Bingung Bu, aku harus ngapain sekarang.”
“Ayah selalu punya cara untuk membahagiakan kita, Nus. Entah dengan caranya yang harus jor-joran kerja dari pagi sampai malam, apalagi semenjak kamu kuliah, Ayah hantam segala pekerjaan yang datang padanya.”
“Tapi kenapa Ayah ninggalin kita, Bu,” kataku pada Ibu.