Sebelum lulus kuliah aku sudah bekerja di kantor temannya Pak Rudi. Perusahaan yang bergerak di bidang keuangan gitu. Letak Kantornya ada di Jalan Supratman. Masuk ke jalan kecil dan kantornya sederhana, bukan kantor dengan gedung bertingkat. Aku menjadi bagian keuangan di sana. Singkatnya tentang pekerjaanku. Karena aku tidak akan menceritakan banyak tentang dunia pekerjaanku karena tidak ada momen spesial yang harus aku ceritakan di tempat kerjaku, yang jelas aku disana mendapat teman-teman baik dan pengalaman yang luar biasa.
Aku juga memberi kabar Ica dan Rini kalau aku sudah bekerja. Ya, tentu saja Ica dan Rini protes sekaligus senang melihat aku bangkit lagi.
“Ih, kenapa Pak Rudi gak ajak aku juga, ya,” kata Ica.
“Ya, mana kenal sama Mahasiswa kayak kita,” celetuk Rini.
“Udah, nanti juga kalian akan menyusul, kalau ada lowongan aku ajak kalian deh,”
“Siap.”
Itu adalah obrolan singkat aku dengan Ica dan Rini. Sebelum memulai kerja aku mampir ke kosan mereka dan memberi oleh-oleh kecil dari kampung sambil ngobrol ini itu saja. Ya, biasa, obrolan kami sering tak berarah, kemana saja masuk, kadang tukang cilok yang sering lewat di depan kosan Ica pun suka kami obrolin, misalnya begini, “kemana tukang cilok yang biasa lewat? sakit gitu? pingin cilok itu,” singkatnya begitu.
Ica dan Rini tahu tentang lika liku hidupku meskipun tak banyak, tapi katanya aku ini orang yang kuat, belum tentu mereka akan sekuat aku.
Selama bekerja aku masih tinggal disana karena belum mampu menanggung biaya hidup sendiri. Namun aku mempunyai rencana, aku akan segera keluar dari rumah itu namun ingin secara baik-baik.
Setiap hari aku diantar jemput oleh Adnan ke tempat kerja. Ya, itung-itung irit ongkos. Aku sering melewatkan shalat berjamaah, karena menghabiskan waktu untuk bekerja. Waktu itu, aku lebih banyak menghabiskan waktu di kantor ketimbang di rumah singgah, agar beban pikiranku berkurang. Tak masalah jika aku harus diomongin oleh Bunda. Sebisa mungkin, aku pun tidak makan di rumah ketika pulang kerja. Aku membeli makanan dan terkadang Adnan membelikan aku makanan atau mengajak aku makan di luar sebelum aku pulang.
***
Kamar mandi di lantai dua memang warna keramiknya sudah mulai usang. Warna kuning yang menempel di dinding kamar mandi memang susah untuk dihilangkan.
“Bun, saya berangkat,” seperti biasa aku menghampiri Bunda yang berada di ruang tamu sambil membaca koran seperti biasa, ucapanku tidak pernah dijawab. Ah! Sebisa mungkin aku tak ingin terkecoh dengan hal-hal yang akan membuat aku jatuh. Aku meraih tangannya saja lalu pergi.