Dengan penghasilan UMR, menurutku itu cukup besar untuk Mahasiswa yang baru lulus sepertiku. Aku harus berjuang mengumpulkan pundi-pundi rupiah untuk membantu ekonomi Ibu di kampung. Aku memang belum bisa mengembalikan uang yang Bunda berikan padaku, karena sebagai pemula aku belum lihai dalam menyimpan uang. Lagi, aku baru saja kehilangan Ayah, aku pikir Bunda akan mengerti tentang masalahku.
Waktu itu Mar kembali ke Bandung. Dia sengaja berkunjung dan akan menginap beberapa hari disana. Kali ini bukan Mar yang menjemputku di terminal, namun Mar memintaku untuk menjemput dirinya, katanya gantian soalnya takut nyasar.
Tentu aku bahagia Mar kembali ke rumah singgah. Aku jadi ada teman tempat aku berbagi cerita. Pokoknya aku sangat bahagia dengan kedatangan Mar. Aku rela izin cuti satu hari dari pekerjaanku karena ingin menjemput Mar. Untung saja Bosku itu orangnya baik hati, izin tak masuk kerja tak harus banyak drama.
Katanya Mar ada urusan juga di Bandung untuk beberapa hari, urusan di kampusnya, entah apa itu, Mar tidak cerita. Untuk beberapa hari Mar akan menginap di rumah Bunda. Biaya hotel mahal, jadi dia meminta izin pada Bunda untuk menampungnya sementara waktu. Dan lagi, kebetulan di kamarku masih tersisa untuk satu orang, jadi Mar akan tinggal di kamarku untuk beberapa hari.
Aku menjemput Mar di Terminal Ledeng. Tempat pertama kali kami bertemu ketika aku akan mengadu nasib ke Bandung. Jika aku ingat semua itu, waktu terasa berjalan begitu cepat, tapi karena aku sedang punya hubungan yang tidak baik dengan Bunda, waktu pun terasa berjalan begitu lambat.
“Tuh, kan apa aku bilang, kamu itu masih perlu tinggal di rumah Bunda, kenapa cepet-cepet balik ke kampung?” Aku dan Mar berbincang sambil jalan kaki. Kemudian aku ajak Mar untuk makan bakso di pinggir jalan. Aku mentraktir Mar agar sampai di rumah singgah kita tinggal istirahat saja.
“Udah kaya sekarang?” Gurau Mar.
“Ya, sudah bisa menghasilkan uang walaupun dikit he he he, dulu kan kamu yang suka traktir aku.”
Mar tersenyum saja, dia tidak banyak bertanya tentang pekerjaanku. Lalu, kami pun melanjutkan obrolan kami yang sempat terpotong.
“Aku ada urusan saja, sekalian nengokin Bunda. Lagian aku sudah lulus, Nus. Oh, ya, Bunda apa kabar, Nus?”
“Baik.”
“Oh. Gimana kamu sama Bunda? Sudah biasa saja?”
“Semakin buruk,” kataku.
“Loh, kenapa?”
“Ya, begitulah, mungkin pintu maaf Bunda sudah tertutup rapat untukku, Mar.”
“Setauku Bunda bukan orang seperti itu?”
“Memang begitu kenyataannya,” Mar memang cenderung tidak percaya dengan apa yang aku alami, bukan hanya Mar tapi semua penghuni rumah singgah itu aku rasa begitu, karena mereka tidak merasakan apa yang aku rasakan.
“Gak kerasa yah, sebentar lagi kamu lulus.”
“Ya sebentar lagi.”
“Iya, rasanya baru kemarin aku menginjakkan kaki ke rumah itu, sekarang mau keluar lagi.”
“Kamu mau pergi dari rumah Bunda?”
“Ya, kamu pikir bagaimana Mar? Bunda sudah tidak suka melihatku tinggal disana. Aku juga tidak tahu, penolakanku waktu itu membuat Bunda begitu marah.”
“Ida apa kabar?” Tanya Mar. Sangat langka sih menurutku Mar menanyakan hal tentang Ida, padahal dulu mereka belum terlalu dekat.