Aku tidak pulang pada hari itu. Aku menginap di kosanku yang baru. Disana hanya terdapat kasur tanpa ranjang. Aku ditemani Ica dan Rini, aku juga meminjam baju mereka. Ica dan Rini pun turut kesal dengan Mar. Bagaimana bisa seorang sahabat dari dulu justru malah menjebakku di situasi begini.
Esok harinya aku pulang. Aku pamit pada semua yang ada di rumah singgah termasuk Ida dan Nunung. Sebenarnya, hati sudah tidak bisa lagi menerima ini semua, bahkan kaki ini rasanya enggan untuk masuk kembali kesana. Dan aku pastikan, jika aku tetap berada disana, maka rasa pahit dalam hidup ini tak akan pernah usai.
Hari ini aku akan pulang ke kampung halaman. Skripsiku juga sudah beres hanya tinggal menunggu wisuda yang terhitung beberapa hari lagi. Memang sudah waktunya aku keluar dengan cara seperti ini, aku sudah tidak tahan dan meninggalkan rumah singgah mungkin akan lebih tenang bagiku.
“Aku pamit ya, makasih udah mau jadi temen aku selama ini,” ucapku pada Ida dan Nunung.
“Ih, Teteh mau kemana?” Tanya Nunung.
“Pergi Nung, skripsiku sudah selesai. Aku mau berangkat wisuda dari rumah saja.”
“Terus, Teteh gak akan ke Bandung lagi?”
“Kita lihat nanti saja, ya. Untuk sementara aku hanya ingin pulang, aku rindu Ibuku.”
Nunung menangis dan memelukku. Sementara Ida tetap diam dan aku pun tidak mempermasalahkan itu. Aku tidak tahu caranya meminta maaf pada Ida. Meskipun aku tak tahu diantara kami siapa yang salah. Tapi sebagai tanda perpisahan aku meminta maaf pada Ida. Entah kapan aku akan bertemu dengan Ida, yang jelas kami akan bertemu lagi pas acara wisuda.
Aku tak ingin egois dan aku beranikan diri untuk membuka pembicaraan dengan Ida, “Da, maafin aku kalau aku ada salah. Tapi kamu harus tau, Da. Semua yang kamu dengar itu gak bener. Aku mempersilahkan kamu untuk lebih percaya aku atau Mar, kamu mau membenci aku juga silahkan.”
“Aku gak benci Nus. Ya, kalau memang anggapan kamu atau Mar begitu tentang aku. Ya, memang itu kenyataannya. Aku terima, aku memang tidak pernah bantuin kalian beres-beres.”
“Nggak, Da, Aku bingung ngejelasinnya kayak gimana, pokoknya aku minta maaf aja, titik.”
Kami pun pelukan. Aku mengangkut semua barangku. Sebelum aku pamitan, aku sudah menaruh barang-barangku di luar yang akan aku angkut kedalam angkot. Aku mengumpulkan tenaga dan keberanian untuk mengetuk pintu Bunda. Entah kata-kata apalagi yang akan dikatakan Bunda aku tidak peduli. Hari ini aku akan keluar dan mengubur kenangan-kenangan pahit yang pernah terjadi di rumah ini.
Kebetulan waktu itu Bunda sedang di kamar nonton televisi seperti biasa. Aku ketuk pintu kamar Bunda, tidak ada jawaban meskipun sudah beberapa kali diketuk. Bunda seperti biasa keluar, dengan serangkaian mukena dan itu tandanya Bunda baru selesai shalat Dhuha.