Dongeng-Dongeng Pengantar Kiamat

Kurnia Gusti Sawiji
Chapter #4

TUBUH AYAH

Pada suatu petang tiga hari setelah kematiannya, aku menemukan tubuh Ayah sedang terbujur kaku di tempat tidurnya. Alih-alih kain kafan, tubuh Ayah itu memakai pakaian rumahnya yang biasa: celana pendek dan baju lengan pendek putih polos; dan kulitnya putih pucat, sebagaimana mayat pada umumnya. Tidak ada bau tanah ataupun busuk yang menguar di kamarnya yang luas, dan tidak ada seserpih tanah pun di tubuhnya. Aku datang dan hanya menatap tubuh itu; lalu Ibu datang dan menatap tubuh itu; lalu adikku pun datang dan menatap tubuh itu. Tanpa rasa, tanpa duka.

Ayah sebenanya sudah meninggalkan kami sejak setahun yang lalu. Penyakit menahunnya yang membuatnya tak berdaya, diberhentikan kerja, dan tekanan hidup membuatnya memutuskan untuk menceraikan Ibu dan mencari suaka di kampung halamannya; meninggalkanku, Ibu, dan adikku Syahdan di rantau orang tanpa ada suaka. Semenjak itu, kami bertiga sudah menganggap bahwa Ayah sudah meninggalkan kami, dan sisa-sisa keperitan dan kepedihannya adalah urusan kami untuk ditangani.

Lalu pada siang itu, ketika jam istirahat di kantorku—aku diterima bekerja sekitar dua bulan yang lalu—pesan singkat dari Pak Sarwoto datang ke gawaiku, mengatakan bahwa Ayah rupanya sedang berada dalam keadaan kritis. Aku tidak ingat perasaan apa yang ada di dalam hatiku ketika kabar itu datang, namun yang pasti, aku ingat ruang kosong yang mengisi kepalaku ketika Pak Sarwoto mengabarkan kematian Ayah tepat pada pukul setengah lima sore. Aku pun terus mengirim pesannya itu kepada Ibu dan Syahdan.

Malamnya, Pak Sarwoto memberi pesan bahwa Ayah sudah aman dikebumikan di pemakaman keluarganya. Setelah membincangkannya denganku dan Syahdan, Ibu memutuskan untuk tidak menziarahi makamnya dalam waktu terdekat. Alasannya sederhana: apa yang ditinggalkan Ayah, yaitu sebuah kapal rumah tangga dan ekonomi yang retak setelah dikuras habis-habisan untuk membiayai penyakitnya, tidak mengizinkan kami untuk bepergian yang bisa memakan banyak dana.

Pada malam itu, kami membaca Yasin bersama dan mendoakan ketenangan Ayah di alam sana. Namun dalam hati kami, ada sesuatu yang asing, tidak berbentuk, dan tidak berperasaan. Hanya ada kenangan-kenangan: Ayah yang pendiam, yang tidak begitu memedulikan kebersamaan keluarga, yang mementingkan dirinya sendiri apalagi ketika di masa ia sakit, dan begitu banyak kenangan lainnya tentang Ayah yang sebenarnya tidak terlalu baik untuk dikenang. Tetapi ada sesuatu yang seakan menyalakan keran di kepala kami, dan kenangan itu tetap mengalir.

Dan kabar kematian Ayah berlalu begitu saja, tamat pada malam itu. Keesokannya, kehidupan berjalan seperti biasa. Ibu menekankan kepada kami untuk tidak mengasihani mereka yang sudah mati, tetapi mengasihani mereka yang masih hidup: yaitu kami sendiri, kehidupan kami. Dan kami pun berhenti berbicara tentang Ayah dengan sendirinya. Dan dalam arus itulah, pada suatu petang tiga hari setelah kematiannya, aku menemukan tubuh Ayah sedang terbujur kaku di tempat tidurnya.

Tidak ada rasa kaget, takut, ataupun gelisah. Ibu melanjutkan memasak di dapur; tidak untuk tiga orang, tetapi empat orang. Syahdan bergegas memijat kepala Ayah, dan aku pun mengambil kursi untuk duduk dan memijat kaki Ayah. Sungguh aneh, itu semua adalah rutinitas kami ketika Ayah ada dan masih hidup dulu. Seakan dikendalikan oleh sebuah kenop masa lalu, kami dengan begitu lancar melakukan rutinitas masa lampau kepada tubuh mayat itu tanpa ada pertanyaan dan ketakutan.

“Syahdan, Wijaya, makan dulu!”seru Ibu dari ruang makan. Kami pun berhenti memijat mayat Ayah dan bergegas ke ruang makan. Ibu lalu menyiapkan sepiring nasi dengan lauk pauk terong balado dan sayur oseng—menu sehari-hari Ayah.

“Bawa ini ke kamar ayahmu,” ucap Ibu datar kepadaku. Aku menurutinya dan membawa piring itu ke kamar Ayah, meletakkannya di atas meja yang berada di samping tempat tidurnya, dan kembali ke ruang makan.

Lihat selengkapnya