Lentera menatap mamanya yang terbaring seolah sedang tidur. Wajah mama terlihat tenang, ketenangan yang sedikit menyejukkan hatinya yang kelam. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan sebab mama tidak akan sendiri. Akan ada banyak malaikat menemaninya, begitu kata papanya.
“Istirahat yang tenang ya, Ma,” Lentera berbisik pelan ke telinga mamanya. Suara tangis dari orang-orang yang berada disekitarnya terdengar bersahut-sahutan. Tak lama kemudian ia bergabung pada sebuah iring-iringan menuju kompleks pekuburan. Tangan kanannya digenggam papa, tangan kirinya digenggam oleh nenek yang tidak begitu dekat dengannya. Nenek tinggal jauh di desa. Tangan-tangan itu hangat menuntunnya menuju pembaringan mama yang terakhir.
Kompleks pekuburan itu cukup lapang, jaraknya sekitar sepuluh meter di belakang masjid kecil yang tidak jauh dari rumah. Mereka berjalan dengan langkah pendek-pendek mengikuti kerumunan laki-laki dewasa yang entah siapa saja, sebagian adalah keluarga dan sebagian lagi tetangga, yang mengusung keranda. Sebuah kain berwarna hijau bersulam kaligrafi dari benang berwarna kuning keemasan menutupi keranda itu. Sinar matahari memantulkan cahaya kekuningan dari sulaman itu. Lentera memandanginya dan tersenyum samar melihat keindahannya. “Seperti kotak harta karun,” ia bergumam. Di dalam kotak itu ada mamanya, hartanya yang paling berharga. Seperti layaknya harta karun, mamanya akan dikuburkan untuk waktu sangat lama, entah sampai kapan. Namun ia berharap Tuhan segera menggali harta itu kembali dan menempatkannya di sisi-Nya.
***
Lentera dan papanya sedang duduk-duduk di alun-alun kota yang tenang sore itu, hampir sebulan setelah mamanya dimakamkan. Ada beberapa penjual gulali serta pedagang mainan sederhana berwarna mencolok untuk menarik perhatian anak-anak. Di salah satu pohon besar yang berdiri di tengah alun-alun, nampak tukang cukur sedang melayani pelanggannya sambil bercakap-cakap dan sesekali tertawa. Gunting kecilnya bergerak lincah diantara rambut pelanggannya.
“Pa, aku sudah dewasa atau belum ?’’ tanya Lentera tiba-tiba.
“Menurutmu ?” Papa balas bertanya.
“Bulan ini aku genap berusia empatbelas tahun. Berarti aku sudah besar. Tetapi tetap saja aku tidak mengerti tentang mati. Mati itu seperti apa? Sementara orang dewasa sepertinya mengerti.”
Papa tersenyum dan menatap putri semata wayangnya. “Mama pernah bilang, mati itu seperti ketika kamu tidur di satu tempat dan terbangun di tempat lain. Namun tidak ada yang benar-benar tahu seperti apa tempat lain itu. Mungkin benar-benar indah jika orang yang sudah meninggal itu baik hatinya seperti mama. Makanya, jadilah orang baik selama masih hidup.’’
Mereka berdua duduk diam menikmati suasana di alun-alun, hanyut dalam alam pikirannya sendiri-sendiri. Angin sepoi-sepoi membelai hamparan rerumputan di depan mereka. Sesaat kemudian papa terdengar menghela nafas panjang.
“Sebenarnya Papa sudah berpikir…” Papa tidak menyelesaikan kalimatnya. Keningnya berkerut-kerut. “Ehm. Papa ingin…”
“Mau bilang apa sih, Pa?” tanya Lentera sambil tersenyum geli melihat kegugupan papanya.
“Begini, Nak. Mama kan sudah tidak ada. Jadi di rumah kita hanya tinggal kamu dan Papa. Sementara kamu tahu sendiri Papa hampir setiap hari sibuk dengan pekerjaan. Kamu tahu kan, itu Papa lakukan supaya kita tetap bisa hidup dengan baik dan kamu bisa tetap sekolah.”
“Hmmm…iya, aku tahu. Terus?”
“Papa tidak ingin meninggalkanmu berlama-lama tanpa pengawasan. Papa tidak ingin kamu jadi terlantar, tidak ada yang mengurus. Eng…jadi…”
“Jadi?”
“Papa ingin menitipkanmu ke rumah nenek Kembang di desa. Nenek sudah setuju.”
Sebenarnya Lentera sudah menduga bahwa dirinya akan dipindahkan ke sana. Memang tidak ada pilihan lain. Ia merasa dirinya belum bisa mengurus diri sendiri sepenuhnya. Ia hanya menggangguk pelan, menyetujui keinginan papanya.
Papa merangkul bahunya. “Jangan sedih, Nak. Papa terpaksa karena nenek Kembang adalah satu-satunya keluarga yang bisa menjagamu sepanjang waktu.”
“Papa juga akan sering-sering menengok, kan?” tanyanya dengan mata berkaca-kaca.