Tidak terasa sudah beberapa bulan Lentera tinggal bersama nenek Kembang. Sesekali ayahnya menengok pada akhir minggu sambil membawakan camilan kegemarannya dari kota. Di sekolah ia akrab dengan sepasang kembar bernama Senja dan Kala. Senja adalah anak laki-laki periang, tangkas dan menyukai musik. Sifat yang berbeda dengan saudari kembarnya, meski wajah keduanya sangat mirip. Kala lebih suka untuk tidak terlalu banyak bicara dan menenggelamkan diri pada buku-buku yang dibacanya dengan lahap. Walaupun Senja hadir lebih dulu ke dunia hanya beberapa menit sebelum Kala, tetapi itu sudah cukup membuatnya merasa sebagai seorang kakak. Berjalan kaki pergi dan pulang sekolah bersama kedua sahabatnya selalu terasa menyenangkan, seperti siang ini. Ketiganya berjalan pulang sambil membicarakan dan menertawakan hal-hal yang mereka lihat.
“Pernahkah kalian merasakan, kadang-kadang saat kita tertawa, pohon-pohon kelapa disekitar kita ini juga ikut tertawa?” Lentera berjalan sambil mengamati pohon-pohon itu.
“Tidak. Mana ada pohon yang bisa tertawa,” sanggah Kala.
“Sssst…” Lentera tidak mempedulikan perkataan Kala dan menghentikan langkahnya. Kedua sahabatnya ikut berhenti dan menatapnya dengan heran. Ia menutup mata, menikmati desiran angin yang membuat dedaunan dan ranting pohon bergerak-gerak.
“Tuh kan, mereka tertawa” bisiknya pada kedua sahabatnya sambil tersenyum sendiri. Senja dan Kala hanya saling berpandangan sambil menggeleng-geleng kepala.
“Tera, jangan bicara yang seram-seram, ah,” Kala cemberut.
“Sebaiknya kita melangkah cepat-cepat sebelum kejatuhan buah kelapa,” Senja menatap ke atas dengan khawatir. “Kalau Lentera sampai terkena dan pingsan, tinggalkan saja dia di sini,” sambung Senja geli.
“Ayolah Tera,” Kala berkata dengan tidak sabar sambil menggamit tangan Lentera. “Jangan lama-lama mendengar pohon tertawa. Sudah sore dan jalan terdekat menuju rumahku harus melewati hutan. Keburu gelap.”
Senja yang sudah agak jauh di depan, sementara Lentera dan Kala menyusul dengan setengah berlari. Malam ini untuk pertamakalinya Lentera menginap di rumah kedua sahabatnya. Acara menginap bersama ini sudah biasa mereka lakukan jika ingin belajar atau bermain bersama, tetapi si kembar selalu terlihat enggan jika Lentera ingin menginap di rumah mereka. Alasannya rumahnya kecil, jelek, dan letaknya cukup jauh dari pemukiman penduduk. Akan tetapi akhirnya Lentera berhasil membujuk keduanya. Ayah si kembar dikenal sebagai seorang petani yang rajin dan ramah, sehingga tentu saja nenek Kembang tidak keberatan ketika Lentera meminta ijin untuk menginap di rumah sahabatnya.
Sementara itu, mereka bertiga tengah memasuki jalan setapak di dalam hutan. Senja berjalan paling depan. “Rumahmu beneran berada di tengah hutan, ya?” tanya Lentera sambil terus berjalan meski sambil terengah-engah. Tidak seperti orang-orang lain di desa, ia belum terbiasa berjalan kaki jauh-jauh.
“Tentu saja tidak, kita tidak akan berjalan sampai ke tengah hutan. Kata ayah, di dalam hutan itu gelap karena pepohonan semakin banyak dan rimbun. Jarang ada yang kesana. Sebenarnya kita bisa lewat jalan raya, tapi terlalu jauh jika ditempuh dengan jalan kaki. Sebentar lagi kita sampai kok,” kata Kala.