Waktu bukan hal yang fana buat diriku, waktu adalah teman paling setia. Mereka zat yang nyata dan selalu berubah bentuk. Telah banyak kulihat kesedihan, kebahagiaan dan lara nestapa di muka bumi ini. Aku sendiri tercipta begitu saja, sejenis apakah aku ini aku juga tak tahu. Tapi yang tahu pasti aku telah berjalan dengan mahkluk paling dicinta oleh penciptaku dan aku saksinya selama ini.
Setelah kiamat pertama itu, aku terus berjalan dan melata di dataran bumi memulung sisa-sisa kerusakan yang dibuat oleh mereka. Perabadan yang mereka bangun semegah Babilonia tapi mereka bisa hancurkan hanya dalam sekejab mata. Mereka makhluk yang dilengkapi akal dan napsu yang tak pernah terpuaskan,terus mencari apa yang mereka inginkan.
Mereka akan menumpahkan darahnya sendiri di muka bumi ini, takdir itu sudah digariskan sejak penciptaku menghembuskan kun fan yakun ke tubuh tanah liat mereka. Tapi pembantaian-pembantaian itu terus terjadi sampai aku teringat Qayen turunan makhluk yang paling dicintai penciptaku itu.
Saat kusaksikan kedua bapak ibunya melesat turun menjadi cahaya menembus atmosfer yang berlapis-lapis itu. Terus meluncur deras kemudian menggelegar, suaranya memekikkan telinga. Cahaya itu bergulir, kala itu malam gelap gulita tanpa temaram bintang sedikitpun. Langit beranjak dari sendu menjadi terang benderang dan semua makhluk terbangun dari tidur lelap dan terkesima melihat pancaran sinar putih mejilat-jilat di angkasa. Tak terkecuali aku diaat diriku melintas di laut mati.
Kulihat kobaran bola api purba itu memecah menjadi dua bagian, salah satunya ke barat. Melesat cepat mengiris residu udara dan hingga sampai kuketahui satu dari dua cahaya itu turun di puncak bukit Sripada dan lainnya di hamparan padang pasir Mesopotamia bersebelahan sungai Tigris dan Efrat.
Aku tertarik mengikuti salah satunya, akupun melayang dan melesat untuk menghapus rasa penasaran ini. Kukejar satu dari cahaya itu dengan kecepatan ultrasonik dan itu kelebihan yang diberikan peciptaku. Kulihat ekor cahaya itu semakin mendekat, kutambahkan tenaga dan tubuku terbentuk perisai melapisi untuk mengurangi gesekan dara. Dikit lagi aku bisa mencapai cahaya itu dan berdampingan disisinya. Usahaku tak sia-sia, aku bisa melihat wujud bentuk itu.
Aku terkesima bahwa bentuk benda ini terlihat kerucut memanjang 40 hasta, disekitar benda itu terdapat energi yang berpendar sedemikian rupa berwujud tameng. Pada bagian atas terdapat kuncup transparan terbuat dari kaca tapi ada hal menarik apa ada didalamnya.
Wajah itu begitu bergelimang aura yang tak pernah kutemukan dimana pun, rambut panjangnya seperti berkibar memanggilmu. Bibir tipis itu bergumam seakan berbisik dekat sekali ditelingamu. Raut muka teduh akan mampu mempesona siapa saja tapi mengapa ada rasa aneh di degup jantung ini saat melihatnya. Aku sendiri tak tahu apakah memang punya jantung, seperti penciptaku selain memberikan kelebihan juga napsu. Tak entah rasa apa ini, aliran darahku terus terpompa tak karuan. Aku tak biasa seperti ini dan yang aku tahu aku ingin menyentuhnya.
Benda itu menukik tajam dan mendekati permukaan, tanah tampak bergetar hebat dan bergerak seiiring ujung kerucut itu. Waktu seakan terhenti seketika, debu-debu berterbangan berhenti melambat dan jatuh sekejab bersamaan benda itu menghujam tanah keras. Energi dari benda itu membuat kubangan besar dan tertancap sana. Terdiam sesaat dan asap berhamburan mememenuhi benda itu.
Aku hanya menunggu dari kejauhan dan mengamati dan memang tak seharusnya aku ikut campur. Tak kurang dari isapan dupa terakhir, benda kerucut itu terbuka dan sosok itu jatuh terkulai merosot ke tanah. Semerbak wangi tercium, siapapun yang menghirupnya akan jadi candu baginya.
Apakah dia mati atau hidup dengan kondisi tak bergerak itu tapi kupastikan ia bernapas, aku bisa mendengar detak jantung yang teratur dan ia tidur. Kujaga dia, ia datang dengan telanjang. Selama 2 hari 1 malam, ia baru siuman dan tak tahu apa yang harus dilakukan. Setelah kebingngan sesaat, ia memintal dedaunan untuk dijadikan penutup aurat. Aku terus mengamati.
Hari demi hari ia terus berjalan dan bisa beradaptasi cepat dengan lingkungannya. Ia bisa berburu mulai dari rusa, ayam liar bahkan menombak ikan di sungai, tak lagi berpakaian daun tapi sudah memakai bulu binatang. Ia begitu terampil dan menyerap apa saja untuk bertahan hidup.
Malam itu setelah melepas penat dari berburu seharian, ia membuat api unggun dan memanggang daging rusa yang sudah ia cincang. Kulihat dibalik api unggun begitu memancarkan aura mempesona, wajah dan rambut itu tak habis-habisan kupandangi. Rasa ini begitu kuat dan tak tahu apa rasanya.
Dalam tidurnya yang lelap, ia selalu bergumam lirih menyebut satu nama.
"Basriah....Basriah.."
Kata itu yang ia ulang berkali-kali bahkan berulang-rulang, aku bisa menghitung 369 kali pada malam pertama, berikut terus bertambah dan terus seperti begitu. Aku merasa kasihan kala itu.
Ia terus berjalan dari barat ke timur terus mencari, mungkin makhluk bernama Basriah ini. Apakah salah satu cahaya itu terpecah memisah itu? Kadang aku sering melihat ia melamum memandangi angkasa, menerawang kosong sendirian di tengah malam. Setelah itu ia sesegukan menangis dan dibibir tipisnya itu terus menyebut Basriah.
Entah kenapa diriku ini, aku seperti tergerak untuk mendekat dan berubah wujud dalam perwujudan dari Basriah yang sering ia mimpikan tiap malam. Sedikit nakal aku intip masuk dalam mimpinya karena rasa penasaran akan Basriah dan akhirnya aku tahu wujud dia. Saat berubah diriku berubah wujud menjadi Basriah dan datang ke wanita itu dalam lelap tidur. Mungkin ia tak sadari itu mimpi atau nyata, ia begitu senang melihat kedatangan diriku.