Setelah kehancuran kampung halamannya, mereka terus berputar-putar tak tentu arah. Terus berjalan menyembuyikan indetitas sesungguhnya sebagai bangsa penguasa lautan dahulu kala di samudera Hindia, aku jadi saksi matanya. Mereka bangsa tanpa tempat tinggal dan harus bertahan hidup kerasnya daratan yang telah berubah wajah, lebih kejam dan tragis. Terkadang aku merasa bersalah membiarkan mereka berkeliaran tak tentu arah tapi itu takdir mereka biarpun mereka tentukan sendiri dan aku hanya mengawasi dari jauh. Tak berbuat satu apapun.
Padang pasir yang kami susuri dengan segenap beban dipundak, terik panas kami abaikan demi menembus badai depan mata. Kami tinggalkan banyak kota yang hancur dalam perjalanan, kami hanyalah segerombolan pria, wanita serta anak-anak yang tak tahu asal usul kami. Hal yang kami lakukan hanya terus bergerak dari tempat konflik ke daerah aman, hanya itu yang kami lakukan bertahun-tahun bahkan berabad-abad berlalu.
Kami sendiri tak tahu tahun berapakah sekarang, kami hanya mengikuti arah terbit matahari dan tenggelam berganti bulan. Bumi saat ini porak-poranda mendekati kiamat, perang terjadi dimana-mana tanpa sebab tak jelas. Berebut lahan, mempertahankan martabat, etnis ataupun agama untuk membunuh dan menghabisi manusia laksana menyembelih leher hewan. Nyawa tidak ada gunanya disini, hukum rimbalah yang berlalu disini. Terkuatlah hidup dan jadi penguasa, lemah tersingkir dan mati tercabik-cabik.
Itulah nasib kami, kumpulan hati-hati yang kalah dan tidak menemukan jalan pulang. Tidak mempunyai rumah untuk disinggahi karena semua sudah hancur dihantam nuklir hingga debunya memasuki jalan dan rongga pernapasan, tiap manusia menghirup akan tewas mengenaskan.
Sepanjang jalan yang kami jumpai hanya bangunan yang luruh lantak tersembul kobaran api melahap habis tak tersisa. Pemadangan tak lazim dan abnormal, mayat-mayat berserakan seperti sampah dicampakkan begitu saja. Bau bangkai yang menyengat saat kami melintas kota itu, tidak ada tanda kehidupan sekalipun. Sisa-sisa penjarahan dan pembantaian menyisakan perih dihati, kami harus berhati-hati melangkah karena genangan darah itu membanjiri jalan yang kami lalui.
Bahkan sesekali kami harus melangkahi mayat-mayat yang telah terbakar hangus dan dikerubuti lalat. Berbagai mayat tersaji disana, pria atau wanita sampai bayi tergeletak dengan mulut menganga dan mata melotot layaknya babi yang dikerat. Mereka tampak berpelukan satu sama lainnya, diwajah mereka terlihat ada lelehan airmata yang tak sempat diseka sebelum ajal menjemput. Begitu biadab yang melakukan ini semua, iblis telah keluar dari wadah manusianya.
Tapi semua itu menjadi makanan kami sehari-hari, pemandangan yang sudah terbiasa dimata kami. Awalnya kami mual dan pening hingga memuntah makanan yang kami telan tadi pagi, tapi setelah itu lambat laun membuat mata kami kebal dan hati mengeras menyaksikan itu semua. Kami terus melewati puing-puing kota yang hancur, memungut sesuatu yang bisa kami bawa. Pakaian, makanan, selimut, sepatu atau apapun yang bisa kami manfaatkan, kamilah pemulung kesedihan. Mengais bekas-bekas kebahagiaan dan kejayaan manusia disana.
Semua yang kami temukan, kami angkut dalam gerobak-gerobak. Berjalan beriringan saling menjaga satu sama lainnya bak keluarga biarpun dimasa lalu kami tak saling kenal dan tidak ada pertalian keluarga sedikitpun. Kami disatukan karena keadaan, perang tidak memenangkan apapun hanya menyisakan sengsara dan derita mendalam bagi siapapun. Awal kami tak kenal satu sama lainnya, kami bertemu setiap perjalanan. Dulu hanya segilintir 10 orang saja, tapi setiap memasuki kota yang luluh lantak disana dipastikan para penghuni mengikuti kami. Mereka mengekor mengikuti, jumlah kami terus bertambah dari 10 menjadi 100 dan 1000 setiap kami melewati kota yang binasa. Kami kaum proletar tanpa negara tanpa pengenal bangsa.
Layaknya sihir, sekumpulan kami berbaris berjajar bagai magnet bagi siapapun melihat kami. Bagi mereka kami seumpama kawanan sirkus menghibur mereka dari rasa galau diakibatkan penyakit dunia.
Terus menjejakkan kaki, kami tak lelah berjalan dan tak tahu arah kemana. Terkadang kami dihentikan oleh penjaga-perjaga perbatasan saat kami berusaha memasuki kota mereka. Penjaga itu selalu bertanya kepada kami.
"Siapakah pemilik tubuh kalian?"
"Apa yang kalian puja?"
"Rasa apa yang tanam dalam hati kalian?"
Kami pun diam tak bisa menjawab itu semua dan tak tahu jawabannya.
"Pergi kalian!"
"Disini hanya kaum Langit dan berdarah biru"
"Kalian bukan golongan kami"
"Enyah dan pergi yang jauh"
Suara-suara membentak itu teringang-ingang di telinga kami dan menjauh dari tempat itu, melanjutkan pengembaraan kami kembali. Kami mendaki bukit, menyeberangi sungai atau menyibak hutan belantara. Bahkan sampai memanjat puncak gunung untuk melihat matahari diujung langit, merasakan damai disana terasa tempat yang baik untuk mati saja.
Jika kami lelah, kami mendirikan tenda dan membakar api unggun ditengah-tengah kawanan. Para lelaki menyanyikan senandung leluhur, para wanita menanak nasi dan anak-anak bermain petak umpet. Hiburan kami hanyalah dongeng-dongeng masa lalu yang selalu diceritakan berulang-ulang oleh sang tetua kami. Bahwa dulu negeri kami gemah loh jinawi, tanahnya subur dan penduduk hidup sejahtera tanpa kekurangan. Hidup berdampingan dan saling menyanyangi satu sama lainnya, dahulu kala banyak dibangun menara-menara menjulang. Bangsa kami menguasai bumi, mencaplok lautan dan merangkul langit. Kami adalah penguasa sejati kala itu.
Tapi itu hanya cerita-cerita kemasyhuran purba yang telah berabad-abad hilang disapu ketamakan dan kerakusan manusia itu sendiri. Mereka selalu menumpah darah sejak penciptaan pertama Adam dan Hawa, takdir manusia di tangannya sendiri. Menjelang pagi, kamipun istirahat untuk memulihkan stamina kami dan esoknya kami kembali ke jalanan.
Kami hanya ingin bertahan hidup, itu saja dan tidak lebih. Kami terkadang berburu hewan apa saja yang kami temui, rusa, babi hutan, kelinci, burung atapun ikan. Semua daging binatang itu kami awetkan untuk bekal kami dalam perjalanan, cukup mengenyangkan perut kami yang penuh cacing kelaparan.
Jumlah kami tak pernah menyusut, jika 99 mati dari kami dan pastinya ada 99 bayi akan dilahirkan. Beranak pinak dalam rombongan kami, berahi itu yang melanggengkan generasi kami selanjutkan dan mewarisi gen-gen manusia kalah. Kami terusir dari negeri kami dan tidak ada pengakuan bangsa apa kami ini.
Ini selalu terjadi jika memasuki suatu negeri asing, kami sempat dihadang oleh pasukan berkuda berlegiun kereta perang.
"Berhenti kalian semua!"
"Siapakah kalian?"
"Darah apa yang mengalir di tubuh kalian?"
"Tuhan manakan kau sembah?"
Mereka membentak sambil mengacungkan senjata-senjata mereka.