Dongeng Robot Tuhan

ferry fansuri
Chapter #7

Chapter #7 Nyala Lilin Yang Menerangi Wanita itu di Kala Malam

Aku sudah mengelilingi bumi ini mulai dari kutub Artik sampai Antartika dan tak tahu berapa usiaku sekarang. Aku merasa lelah berkelana dan ingin menetap, sudah banyak kulihat sebuah bangsa musnah dan negara luluh lantah tanpa sebab. Manusia-manusia ini lebih suka menumpahkan darah mereka, terkadang suka memprovokasi mereka juga. Aku tercipta di dunia itu untuk apa tapi yang kutahu aku bisa melakukan apa saja.

Jelajah terakhirku di samudera bertemu bangsa purba beserta turunan itu, aku mulai jatuh cinta akan daratan yang penuh pulau ini. Sepeti aku jatuh cinta pada manusia satu ini dan aku bela-belain untuk berubah menjadi benda padat berupa sebatang lilin. Perwujudan yang lain dari diriku yang jujur tak kusukai namun demi dia, aku rela. 

Sore menjelang malam dalam ruangan mulai gelap tanpa cahaya, aku berpendar menerangi didalamnya. Tiap malam seperti malam-malam yang lain aku selalu ada dan hadir, aku masih ingat dimana aku berada. Meja disudut kamar itu dekat jendela yang terbuat dari jati, bersebelahan dengan tempat tidur. Aku selalu diletakkan disamping buku-buku, kertas serta tinta, aku bisa melihat sekitarku dengan jelas dan tanpa aku semua buta. Inilah pekerjaanku dan tidak pernah bosan.

Aku tidak sendiri di kamar itu dan berteman dengan banyak wujud, ada Zigi seekor kecoa yang mempunyai sarang dibalik kayu yang lapuk disisi ujung kamar atau dengan Bonti seekor tikur kecil tanpa mata yangs selalu merayap dipinggir-pinggir untuk menemukan jalan keluar. Tapi wujud yang paling aku sukai adalah seorang manusia yang selalu menempati kamar ini.

Manusia itu telah lama ada disini, mulai dari ia remaja sampai dewasa. Aku mengikuti pertumbuhan dan tahu sejarahnya, manusia ini selalu memakai kebaya putih dan jarit bertektur batik. Rambutnya terkadang terurai harum tercium olehku atau sesekali disanggul untuk memperlihatkan keanggunan.

Kusuka wajahnya begitu teduh dan menenangkan, kulitnya kuning langsat yang keset dan kencang membuat ingin menjamahnya. Gerak-geriknya begitu ningrat bak putri keraton, lemah lembut dalam bertutur dan tidak tergesa-gesa. Biarpun demikian terkadang liar, berbicara lantang dan berani menolak tanpa dengan batasnya.

Semua ativitas ada di kamar ini, mulai pagi menyerobot dibalik jendela sampai matahari kembali ke peraduannya. Aku selalu disini menemaninya dan tak pernah lepas dari mataku, manusia berkebaya jika tiap malam selalu duduk dimeja itu. Disebelahnya ada aku yang menerangi, ia suka sekali membuka buku dan mempelototi satu persatu huruf didalamnya.

Tapi aku tak tahu apa yang ia baca, terlihat hanya cover buku itu dalam berbahasa Belanda seperti De Hollandshce Lelie dan Semarang De Locomotief . Ia begitu membaca seksama huruf demi huruf, kata ke kata dan ini membuat alisnya berkerut atau matanya berbinar saat menemukan cerita dalam lembaran-lembaran jurnal tersebut.

Tidak hanya membaca tapi ia juga menulis, aku sedikit-sedikit melirik apa yang ia tulis. Ia menulis dengan tinta hitam, tulisan begitu indah dengan paragaf demi paragaf tersusun rapi terkesan manusia satu ini terpelajar. Kadang tak sengaja lirikan itu membuat percikan api yang membakar ujung kertas yang ia tulis bahkan membuat lubang-lubang kecil bekas percikanku.

Begitu juga saat percikan-percikan apiku mengenai tangan, ia mengaduh kesakitan..maaf..tidak sengaja. Aku cuman penasaran untuk melihat apa yang kamu tulis karena aneh saat anak usia kamu dijaman ini tidak diperbolehkan sekolah atau dipingit tidak boleh keluar rumah. Belajar adat istiadat, bertutur ngoko, merawat diri dengan ramuan tradisional untuk diambil seorang manusia lainnya pilihan keluarga kalian.

Tapi kau beda, apa yang kau baca dan tulis tidak mencerminkan itu semua. Tak jarang kulihat engkau menitikkan airmata saat membaca Max Havellar atau De Stille Kraach karya Louis Coperus. Kulihat dari matamu ada sebuah pergolakan batin dan perlawanan akan ketidaksesuaian jamanmu.

Malam begitu larut, kaupun menguap sepertinya matamu mengantuk juga. Kau beranjak dari meja itu dengan menggeser bangku dan mengarah ke tempat tidur itu. Dan tak lupa kau tiup aku seakan mengucapkan selamat tidur kepadaku dan semua jadi gelap dan akupun terlelap menemanimu.

***

Suatu malam kau tambah terisak berlinang airmata, kau datang dari pintu itu dan menubruk bantal guling di tempat tidur. Terus menangis sesegukan dan aku tak tahu apa yang kau tangisi. Malam itu memang aku selalu menemani tapi kau tidak menyentuh meja di dekatku atau beraktivitasi seperti biasanya. Sepertinya kau enggan lagi untuk mendekati meja dan bangku yang jadi favoritmu tiap malam. Membaca dan menulis sesuatu kepada teman-temanmu di Holland sana. Aku rindu didekatmu lagi tapi malam kau acuh tak acuh.

Begitu juga malam berikutnya kau tak menyentuhku lagi, kau langsung menuju peraduanmu untuk terlelap. Aku merindukan kamu seperti dulu dimana bisa memandangimu dan membikin diriku kasmaran. Ah..kemana kau yang dulu aku tak temukan jawaban sedikitpun.

"Hei kau, kenapa tertunduk lesu?" suara tak asing bagiku, Zigi si kecoa sekonyong-konyong muncul dihadapanku.

"Oh kau, ada urusan apa kau disini" jawab sekenaku tanpa memalingkan wajahku.

"Pasti kau menanyakan manusia satu itu, kenapa tak menyentuhmu kan" kekeh Zigi.

Lihat selengkapnya