Aku semakin jatuh cinta akan negara kepulauan itu, memang bangsa ini tak luput juga dari wabah peperangan. Banyak bangsa luar tertarik akan rempah-rempah hasil bumi mereka, puluhan bangsa asing bergiliran ingin mencaplok negara seribu pulau ini. Banyak yang ingin mempertahankan wilayah ini, bercucuran air mata dan berkalang tangan. Tidak hanya tua atau desa yang memanggung senjata tapi anak muda. Ini sebuah kisah tentang anak muda bau kencur yang tergila-gila akan senapan dan ingin menidurinya.
Hampir sewindu desingan peluru dan mortir membombardir kota ini, kami hanya bisa berlindung di reruntuhan gendung yang telah luluh lantah diterjang amukan hujan petasan yang turun dari langit. Mereka memuntahkan berbagai macam bongkahan besi dari meriam kapal dan kemudian tank-tank baja itu diturunkan secara rahasia. Mereka bergerak perlahan memasuki kota yang telah porak poranda tak berkeping, perihal yang bisa dilihat bergelimpangan mayat dari manusia sampai kucing. Berserakan di jalanan, selokan dan gedung yang ambruk. Kabel listrik dan telepon berjuntai kian kemari tak beraturan menambah pemandangan miris untuk dilihat.
Kekuatan kami tak sebanding dengan mereka yang pernah begitu digdaya mengayang Nippon di Burma. Kami hanya rakyat jelata yang tak memiliki keahlian membunuh dan yang kami punya hanya jiwa ingin mati. Bersenjatakan seadanya kami menyerang tank Sherman dengan belati dan sesuatu yang runcing yang kami asah berhari-hari. Tapi itu sia-sia belaka, motor lapis baja itu begitu tebal dan kami dihujani kerikil mesiu yang memberanguskan kulit. Terkapar tak berdaya melihat satu persatu dari kami jatuh tergilas dan terkapar bersimbah darah.
Mereka menduduki kota ini begitu cepat tapi tidak memadamkan perlawanan kami, serangan sporadis dan berpindah tempat masih terus berlangsung tanpa henti. Semua mulai tua muda ikut meleburkan diri saat pekikan-pekikan penghabisan darah terakhir dari radio pembakar semangat. Begitu juga aku, semua pemuda di kampungku juga ikut bagian karena merasa hari ini adalah hari terakhir dalam hidup. Aku masih begitu muda, mungkin mendekati 17 tahun atau kurang. Aku juga tak tahu angka pastinya karena pas aku lahir didalam negara kacau balau ini.
Aku tak kenal orang tuaku, lahir dan tinggal bersama kakek nenek. Aku masih beruntung. Hidup tidak kekurangan sama sekali, kakekku juragan becak. Beliau membuat roda tiga itu dengan ketrampilan tangan, kadang ia jual atau disewakan. Nenekku seorang penjual pecel pincuk, ia menjajakan keliling kampung kadang laku kadang tidak. Aku tumbuh jadi anak yang bandel tanpa kasih sayang orang tua, kakek nenekku memanjakan diriku hingga apapun aku turuti. Jika salah aku dibela, pernah suatu ketika aku mengambil mangga pak Kardi diujung kampung ini.
Mangga itu aku bidik dengan ketapel buatanku dari kayu jati bekas yang aku pungut dari bengkel pembuatan mebel milik wak Kadir. Aku ukir dengan model Y dan kuasah halus kemudian aku beri karet dari bekas ban dalam becak yang berserakan di bengkel kakeknya. Bidikanku tak pernah meleset, aku jago menarik tali ketapel dan hanya dengan lirikan mata kiri ini maka target sekecil apapun pasti kena.
Tapi sial waktu itu, aku bidik tepat kearah mangga tapi jatuhnya terpental mengenai kaca hingga ambyar tak berkeping. Pak Kardi mendengar itu semua langsung marah-marah dan menjewer kupingnya, diseret diriku ke rumah kakekku untuk minta ganti rugi. Pertengkaran mulut pun terjadi antara kakekku dan pak Kardi, tidak ada yang mau mengalah. Aku disudut rumah hanya senyum cengar-cengir sambil rambutku dielus-elus nenekku dengan lembut.
Aku beruntung di kehidupan itu tapi seketika berubah, pergolakan demi pergolakan terjadi di negeri ini. Nyawa tak berarti di negeri yang dulu gemah loh jinawih ini, populasi terus merosot. Aku tak tahu sekarang tanggal berapa tapi yang kuingat bulan ini Barisan Tentara Nasonal terbentuk selepas sang proklamator mengumandangkannya di tahun 1945. Pemimpin negara ini menyatakan gawat darurat dan mengimbau untuk para pemuda berjuang, awalnya ia ingin 10 pemuda untuk menguncang dunia tapi hampir separuh pemuda ini terbius.
Termasuk aku ikut terpana oleh macan podium itu, membakar semangat. Aku memang dari dulu senang saat melihat tentara memanggul senapan dipundak dan jalan dengan dada tegap. Hal itu aku ungkapkan kepada kakek-nenekku, cuma nenekku saja yang melarangku.
"Aduh le, kamu pikirkan dulu. Apa kamu pengen mati sia-sia?"
Nenekku menangis tersedu-sedu mendengar hal tersebut.
"Sudahlah bune, Sarmin itu sudah besar. Laki-laki wajib menentukan tujuannya"
Kakekku lebih ikhlas melepasku maka tak lama aku pun berangkat pelatihan dan masuk barisan tentara biarpun aku tak layak, tubuhku yang kecil kerempeng dan pendek.
***
Aku selalu tertarik serta ingin memegang senjata itu, aku ingin sekali memuntahkan pelurunya dari selongsongan. Saat dikongkang dan dibidikkan, suara letusan begitu merdu ditelinga. Mata ini lekat pada moncong senapan itu tapi tak terjamah olehku, aku tidak pernah sedikitpun diberi kesempantan memegang senapan itu dan hanya boleh melihat saat sang perwira itu mendemonya.