Dongeng Robot Tuhan

ferry fansuri
Chapter #12

Chapter #12 Obsesi Minami

Aku telah hidup berbagai jaman di dunia ini, berbagai generasi dan hidup di manusia-manusia bodoh itu. Aku pernah berubah menjadi seorang pejabat, pemulung, dokter, mahasisa sampai seorang banci sekalipun. Demi apa itu semua, tidak ada. Aku hanya menikmatinya, keabadiaan itu milikku. Kelebihan dan kelemahan manusia adalah napsu, jika tidak bisa mengendalikan akan jadi malapetaka. Ini teringat terhadap Minami, pria tergila-gila akan kelaminnya dan aku ada disana jadi saksi kedigdayaannya

Minami diambil dari nama belakang Kotaro Minami tokoh rekaan dalam Kamen Raider Black atau di sini dikenal sebagai ksatria baja hitam. Muhidin mulai mengganti namanya menjadi Minami jadi suatu keharusan saat ia telah berada di negara matahari terbit tersebut. Impian masa kecilnya untuk menjejakkan kaki disini begitu membumbung tinggi sampai diangan-angan. Ketika beranjak dewasa kelak, Muhidin ingin tinggal dan menelusuri Jepang negeri impiannya. Sebuah impian semua anak kecil dengan fantasi dalam batok kepala mereka masing-masing. Macam hantu-hantu kecil bergentayangan mengitari otak mereka untuk berbuat naif dan bodoh.

Obsesi Minami alias Muhidin memang sejak kecil terlihat bakatnya, ia tergila-gila segala halnya tentang anime, manga dan semua yang berbau Nippon itu. Dari poster sampai action figure ia miliki, Tokusatsu macam Megaloman-Gaban-Guntam-Ultraman itu semua ia ingat diluar kepala bahkan detil sampai karakter tiap serinya. Waktu itu Minami masih berusia 10 tahun mungkin lebih, keracunan tokoh-tokoh Japan itu membuat sebuah cangkang kehidupan dalam dirinya bahwa suatu hati nanti ia akan menjadi seperti mereka.

"Aku akan pergi ke Jepang dan menaklukannya !!"

Kata-kata itu menggebu-gebu dalam gendang telingaku saat itu, kita masih kecil tak terlalu memikirkan racuan Minami. Itu kita anggap obsesi masa kecil yang kelak sewaktu dewasa akan luruh begitu saja seiring kenyataan dan beban hidup semakin mengikis sebuah ideologi kaku sekalianpun.

Tapi itu tak terbukti buat Minami, saat beranjak remaja pun keinginan itu tak pupus sama sekali. Kelakuan dan gaya busana begitu kental Harajuku style, tubuhnya yang ceking panjang dipadu celana kulit ketat, bersepatu kets putih, berjaket denim dan rambut berjambul warna-warni. Semua pernak-pernik Shibuya fashion melekat dalam tubuhnya itu. Rasa percaya itu tak sadar membuat ia begitu beda dan menjadi daya tarik mata sekitar melihatnya. Ada sinis, cemohaan atau memuji sambil tertawa terlihat dari raut wajah mereka jika berpapasan dengan Minami.

Cuek dan tak tahu malu, itulah Minami bahkan tak peduli mereka menertawakan kesan norak gaya pakaiannya.

"Norak, nyeleneh, aneh, anti mainstream itulah gaya sebenarnya"

Minami semakin tebal iman bahwa semua yang diluar sana bukan mencemohkan dia tapi menyanjung setinggi langit. Setidaknya itu percakapan kami terakhir, selepas SMA, Minami nekat berangkat ke Jepang tanpa plan dan uang mencukupi. Keluarga Minami bukanlah keluarga kaya bergelimpangan materi, bapaknya hanya pegawai rendahan di dinas perhubungan yang telah pensiun dan emaknya cuma ibu rumah tangga sesekali jualan kue di pasar. Adik-adiknya juga masih kecil dan butuh banyak biaya, Minami memahami itu semuanya. Keputusan untuk merantau begitu bulat tanpa pikir kembali, menyaru sebagai kelasi di Tanjung Perak dan menumpang kapal pengangkut kontainer menuju negeri impiannya.

***

Peluh keringat menahan penat dalam bungkusan latex super ketat, Minami harus bergerak kesana kemari untuk memainkan karakternya. Biarpun hanya sebagai figuran valiant yang tak dikenali wajahnya dalam balik topeng berbahan resin. Minami sudah menjalani stuntman dalam berbagai tokusatsu, memang peran kecil yang mulai dari bawah dan pertama kali mendarat di pelabuhan Tokyo secara ilegal. Sebagai gaijin(orang asing) yang tidak memiliki paspor dan tanda pengenal, Minami harus rela lari tunggang langgang dikejar petugas imigrasi. Tapi tekad bulat yang menggunung dan keinginan tak terbendung, bahtera bah meluap dari kepala Minami.

Sewaktu tiba di Tokyo, Minami hanya berbekal beberapa lembar yen dan bahasa Jepang yang tidak mumpuni hanya dipelajari dari kamus. Tiada teman atau tujuan, Minami harus berpindah-pindah tempat mulai dari taman, dibawah jembatan, lorong yang sepi ataupun kumbangan tempat sampah. Saat Minami melihat lalu lalang orang dalam jalanan Shinjuku, Shibuya dan Harajuku, ia terperana akan adegan menyemut dan merayap. Minami ingin menjadi bagian hal tersebut, gempa budaya mungkin telah dialami olehnya.

Memulai perihal itu, Minami harus mencari pekerjaan dan tempat tinggal. Pekerjaan pertama yang diperoleh mencuci piring di restoran sushi dan tempat tinggal berhasil didapat biarpun bercampur aduk dengan imigran lainnya yang juga membawa mimpinya tentang Jepang. Tapi semua yang dilakoni Minami ini bersifat sementara, tujuan utamanya hanya impian masa kecil menjadi cost play dan masuk dunia tokusatsu. Tekad yang kuat dan tak menyerah sebagai gaijin perantauan, Minami akhirnya meraih mimpinya setelah 3 tahun luntang lantung kesempatan masuk dunia industri tokusatsu setelah puluhan casting yang Minami ikuti.

***

Email-email Minami tak pernah lolos dari pandangan mataku, mengabarkan tentang semua hal tentang dia. Setiap email dituliskan dengan perasaan yang menggebu-gebu bahwa Jepang adalah tempat yang menyenangkan. Beserta foto yang ditautkan dalam email-emailnya, mulai dari selfie depan menara tower, hiruk piruk jalanan Shinjuku atau balutan pakaian cost play suatu pameran.

Ia begitu bangga dan percaya diri mencapai seratus sepuluh persen, Minami telah mewujudkan apa yang dia inginkan sejak dulu. Email itu terus dikirim tiap minggu, bulan sampai tahun-tahun berikut tak tersampaikan. Setelah itu satupun email mendarat di inbox, tidak canda tawa atau perihal apapun yang selalu ia jejalkan pada tempurung kepala tentang negara samurai itu. Aku merasa tak tahu mengapa Minami menghilang begitu saja dan kabarnya terus tergerus waktu yang mulai menipis.

Tapi saat ini Minami di ambang pintuku layaknya jelangkung tak patut diundang dan pulang tidak diantar. Minami datang tanpa mengabari jauh hari seperti dalam raut mukanya tersirat sebuah beban yang tak mungkin ia pikul sendiri. Tampak lelah dan badannya kusut, perjalanan panjang menekuk wajahnya dari bulat lonjong menjadi segitiga mirip bujur sangkar separuh persegi.

Lihat selengkapnya