“Kalau itu nyata, aku ingin menjadi Taulani yang gigih berani melawan si Joki.”
Maria tertegun mendengar jawabannya. Karena belum rampung kisah itu diceritakan, bahkan memiliki akhir yang tragis. Sudah ingin bermimpi saja anak lelaki wajah tampan, tubuh bugar menjadi seperti ayahnya.
Maria berlalu. Membeli keperluan yang dibutuhkan ibunya. Sebelum pulang, dia menyebrangi sungai lewat jembatan dari kayu yang dibuat para warga agar lekas sampai ke Nalaya. Dia pergi ke rumah David memberikan potongan baru karangannya sekaligus meminjam buku karangan filosof sebelum masehi yang lain.
Dari buku-buku yang dia baca, Maria menjadi mengenal Sokrates, Plato. Mengenal Qais syair-syairnya dalam kisah Layla majnun, pula Imru’al qais penyair arab abad ke enam. Ada pula para nabi yang membebaskan manusia dari orang-orang jahat yang gila kuasa. Atau pemikiran Nicolaus Copernicus tentang matahari sebagai pusat tata surya bukannya bumi, berkebalikan dengan teori geosentris tradisional.
“Aku langsung pulang saja,” pamitnya pada David dan ayahnya yang duduk-duduk sanrai di teras rumah mereka. Menyantap teh yang menguap asapnya di udara.
“Kenapa terburu-buru, May?” tanya David memberhentikan langkah gadis itu.