Tiga bulan setelah ekspedisi ke Perut Dunia, kehidupan di permukaan kembali berjalan normal.
Dontol, kini dikenal sebagai “Eksplorer Kipaskara,” tinggal di rumah kayu kecil di pinggir hutan. Ia menulis kisahnya dalam buku harian berjudul yang sama: Dontol The Eksplorer.
Ucup membuka warung kopi bertema petualangan: “Warung Langit Delapan.” Kopinya pahit, tapi kisahnya manis. Anak-anak desa duduk mendengarkan setiap sore, tak pernah bosan akan cerita tentang lorong cahaya, kompas emas, dan bola cahaya yang berbicara.
Boriel Junaidi menjadi guru ilmu bumi di sekolah desa. Ia tak lagi menyendiri, dan sesekali membawa musang kesayangannya memberi ceramah tentang “arti tanah dan jejak langkah.”
Isyana Suinem kembali ke hutan, menjaga pohon jambu yang kini dihiasi ukiran baru: nama-nama semua anggota tim petualangan.
Ucok Subejo? Ia jadi pelatih bela diri untuk anak-anak yang takut gelap. “Berani itu bukan tanpa rasa takut,” katanya, “tapi melangkah meski takut.”
Dan Dontol… pada malam tertentu, ia menatap langit, menulis satu baris:
“Dulu aku mencari jalan, sekarang aku menjaga jalan itu tetap ada.”
Di malam terakhir sebelum akhir musim, langit bersih. Bintang-bintang tampak lebih banyak dari biasanya.
Lalu… satu bintang jatuh.
Ucup berteriak, “Itu tanda, bro!”
Dontol tersenyum. “Tanda kalau petualangan memang tak pernah benar-benar usai.”