Hari masih pagi ketika lonceng istana berdentang tiga kali, menandakan dimulainya pertemuan penting di aula utama. Seraphina berdiri di pojok ruangan, membawa nampan berisi anggur dan roti kecil, mencoba mengamati suasana tanpa menarik perhatian. Namun, matanya tak bisa lepas dari percakapan yang berlangsung di antara para bangsawan.
Mereka duduk di kursi-kursi besar berlapis kain sutra merah, masing-masing mengenakan pakaian terbaik mereka. Sorot mata mereka penuh kehati-hatian, setiap kata yang terucap bagaikan pedang bermata dua.
“Yang Mulia, situasi di perbatasan semakin memburuk,” ujar Lord Victor, Menteri Perang. Suaranya dalam dan tegas, wajahnya yang tegas menunjukkan keprihatinan. “Jika kita tidak segera mengambil tindakan, Kerajaan Eloria akan bergerak lebih jauh.”
Pangeran Adrian duduk di kursi tertinggi, dagunya bertumpu pada tangan. Pandangannya tajam, tapi tidak tergesa-gesa. Ia tampak mempertimbangkan kata-kata Victor dengan cermat.
“Kita akan mengirim pengintai,” jawab Adrian, suaranya rendah tapi penuh otoritas. “Tidak ada pergerakan besar sebelum kita tahu pasti niat Eloria.”
Seraphina merasakan aura tegang memenuhi ruangan. Bukan hanya kata yang mereka ucapkan yang penting, tetapi juga tekstur kecil—kedipan mata, senyuman singkat, atau nada suara yang berubah. Di balik segala formalitas itu, ada sesuatu yang lebih besar sedang berlangsung.
**
“Politik di sini seperti permainan catur,” bisik Clara, pelayan senior, yang tiba-tiba muncul di samping Seraphina. “Setiap langkah harus dipikirkan dengan hati-hati, atau kau akan dijatuhkan sebelum sempat bergerak.”
“Sepertinya lebih rumit daripada permainan,” jawab Seraphina, matanya tetap tertuju pada para bangsawan yang kini terlibat dalam diskusi panas tentang pajak tanah.
“Benar,” Clara mengangguk, suaranya rendah. “Di istana, setiap senyuman bisa berarti perang, dan setiap ucapan manis bisa menjadi jebakan.”
Seraphina mulai memahami bahwa istana Valoria adalah medan pertempuran dalam bentuk yang berbeda. Ini bukan tentang pedang dan perisai, melainkan kata-kata dan pengaruh. Setiap orang di ruangan itu memiliki agenda mereka sendiri, dan siapa pun yang lemah akan segera dilenyapkan.
**
Di sore harinya, Seraphina berjalan melewati taman istana, mencoba mencerna semua yang ia lihat di aula tadi. Namun, langkahnya terhenti saat mendengar suara percakapan dari balik dinding mawar tinggi.
“Kita harus memastikan Evelyn tetap berada di pihak kita,” suara seorang pria terdengar jelas. “Jika dia bergabung dengan Lucian, kita bisa kehilangan segalanya.”
“Kau meremehkan Evelyn,” suara lain menyahut. “Dia lebih cerdas dari yang kau kira.”
Seraphina mencoba tidak mengeluarkan suara sedikit pun. Nama-nama itu—Evelyn dan Lucian—terasa seperti potongan puzzle yang akhirnya mulai membentuk gambaran besar.